JAKARTA -- Pemerintah akan memasukkan kebutuhan pokok (sembako) ke dalam objek pajak pertambahan nilai (PPN). Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, kebijakan pemerintah tersebut lebih banyak mudaratnya bagi masyarakat.

Rencana pemerintah memasukkan sembako sebagai objek pajak tertuang dalam perluasan objek pajak PPN dan diatur dalam revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dikutip dari Republika.co.id, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, pengenaan pajak terhadap jual-beli sembako tentunya akan membuat harga sembako melambung, sehingga menyebabkan kondisi ekonomi masyarakat semakin sulit di tengah pandemi Covid-19 yang telah membuat pendapatan masyarakat menurun.

''Kalau sembako akan dikenakan PPN, maka dampaknya tentu saja harga-harga sembako akan naik,'' ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (9/6).

Ditegaskan Anwar, sebanyak 50 juta orang bisa menjerit akibat ke kebijakan pengenaan PPN terhadap jual-beli sembako tersebut. Sebab, mereka tak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

''Ketika pendapatan masyarakat menurun, lalu sembako oleh pemerintah akan dikenakan PPN, maka yang akan sangat terpukul tentu saja masyarakat lapis bawah, terutama masyarakat miskin yang jumlahnya saat ini selama Covid-19 mungkin sudah mencapai angka sekitar 30 juta orang. Ditambah lagi dengan kelompok lapisan masyarakat yang ada sedikit di atasnya,'' ungkapnya.

Jika hal itu terjadi, kata dia, tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan menurun. Hal ini berdampak terhadap kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, juga terancam kekurangan gizi dan stunting.

''Maka hal demikian jelas akan sangat-sangat merugikan bangsa, tidak hanya untuk hari ini tapi juga untuk masa depan,'' kata Ketua PP Muhammadiyah itu.

Karena itu, Anwar meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana pengenaan PPN pada kebutuhan pokok. Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi dan mensejahterakan rakyat.

''Bahkan di dalam Pasal 33 UUD 1945 negara dan atau pemerintah diminta dan dituntut untuk bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat. Dan pengenaan PPN malah bisa membuat yang terjadi adalah sebaliknya dan itu jelas-jelas tidak kita inginkan,'' ucapnya.

Dalam draf RUU KUP, pemerintah akan menghapus dua dari empat kelompok barang yang saat ini bebas PPN. Kedua barang tersebut yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

''Jenis barang yang tidak dikenai PPN yakni barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut (hasil pertambangan dan kebutuhan pokok) dihapus,'' tulis Pasal 4A ayat 2a dan 2b draf RUU KUP.***