PEKANBARU, GORIAU.COM -Terjadi selisih fahan antara hakim pada sidang perkara dugaan korupsi proyek bioremediasi dengan terdakwa Ricksy Prematuri, Selasa (7/5). Satu dari lima hakim menyatakan terdakwa tidak bersalah secara sah melawan hukum, namun empat lainnya justru sebaliknya. 'Dissenting opinion' tidak merubah keputusan, terdakwa tetap menerima vonis lima tahun penjara dan denda Rp200 juta serta mengganti kerugian negara sebesar Rp30 miliar.

Selisih faham (dissenting opinion) terjadi diantara hakim Pengadilan Tipikor mengingat kondisi atas perkara tersebut yang cukup rumit. GoRiau.com memantau jalannya persidangan melalui cannel khusus televisi di kompleks PT Chevron Pasific Indonesia, Selasa malam (7/5/2013).

Dalam sidang yang baru selesai sekitar pukul 23.30 WIB itu, hakim anggota dua, Sofialdi. Sofialdi menyatakan perbedaan pendapatnya dimana terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.

Hakim ini beralasan pekerjaan bioremediasi sebenarnya telah dilakukan oleh perusahaan milik terdakwa bahkan dalam tahap akhir kontrak.

Perusahaan terdakwa juga tak harus mengurus izin mutlak atau khusus kepada pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), hal itu sesuai dengan peraturan pemerintah.

"Yang seharusnya mengurus izin tersebut ke KLH atau lembaga negara terkait adalah pemilik limbah yakni PT Chevron Pasific Indonesia," katanya.

Hakim ini juga menjelaskan, banyak kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), salah satunya dengan menghadirkan saksi-saksi dan ahli yang tidak berkompeten.

"Jadi saya menyatakan perbedaan pendapat dan menyatakan terdakwa bebas karena tidak terbukti secara sah melanggar hukum," katanya.

Namun demikian, mengingat empat hakim sudah bersepakat dengan pendapat yang menyatakan terdakwa bersalah, maka 'dissenting opinion' tidak merubah keputusan.

Majelis hakim yang diketuai oleh Sudharmawatiningsi dan tiga hakim lainnya memutuskan terdakwa bersalah telah melanggar aturan karena belum memiliki izin pengelolaan limbah.

Putusan majelis hakim ini berlawanan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Undang-undang tentang lingkungan hidup yang menyatakan izin pengelolaan limbah hanya cukup pada perusahaan pengelola migas, sementara rekanan kontraktor tidak perlu lagi memiliki izin tersebut.(fzr)