JAKARTA - Direktur eksekutif Rights Asia, Nukila Evanty, mendesak pemerintah daerah Riau untuk segera membentuk mekanisme kompensasi dampak asap terhadap masyarakat.

"Gubernur dan para bupatinya bersama dinas dan badan lingkungan hidup serta dinas kesehatan, harus duduk bersama. Jangan jalan sendiri-sendiri!" kata Nukila dalam keretangan tertulisnya, Kamis (12/09/2019).

Aktivis Lingkungan dan Kemanusian asal Riau ini menilai, apa yang dilakukan Pemda Riau dalam menyikapi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih terlalu tematik dan kasuistik.

"Kejadian seperti ini kan bukan baru kali ini tapi memang sudah berulang kali selama bertahun-tahun. Dan belum ada aksi pemerintah yang prespektifnya lebih sustainable," kata Nukila.

Termasuk upaya membagikan masker kepada masyarakat yang terdampak asap dan menginstruksikan puskesmas-puskesmas untuk siaga, dinilai Nukila masih jauh dari cukup.

"Jangan hanya bagikan masker! Kan lucu. Soal kesehatan kan sudah dijamin undang-undang. Pemerintah juga jangan lupa soal rights to safety and healthy environment," ujarnya.

Jadi, kata Nukila, penting bagi pemda Riau untuk menyikapi soal asap dan Karhutla secara komprehensif mulai dari hulu. Agar "bencana" asap tak berulang dan menggerus hak kesehatan masyarakat Riau.

Dari 138 titik panas yang diindikasi sebagai titik awal Karhutla yang terjadi dan menyebar di lebih dari 30 ribu hektar lahan di Riau sejak Januari hingga awal September 2019, pembakaran lahan secara serampangan dan tak bertanggungjawab sedianya bisa dianggap sebagai hulu soal dan seharusnya bisa diselesaikan.

"Kasih lah insentif pembabatan lahan untuk small holders karena memang biaya pembabatan lahan itu mahal," kata Nukila.

Nukila tak menampik bahwa ada pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan tani dan perkebunan yang memang jadi tradisi bagi masyarakat adat, seperti yang dilakukan Suku Akip di Rupak Utara dan Suku Talang Mama di Indragiri Hulu.

"Tapi kabut asap yang luar biasa seperti sekarang bukan ulah mereka. Right Asia sudah pernah meneliti kesana dan mereka punya teknik sendiri berupa menyiapkan parit agar pembakaran tak meluas," kata Nukila.

"Bukan kami, kami tahu lah caranya agar pembakaran tak meluas. Kami yang memang hidup di hutan juga tak mau lah hidup dengan udara tak sehat," kata Nukila menirukan pengakuan warga adat beberapa tahun lalu.

Sehingga, kata Nukila, pembakaran lahan yang serampangan dan mengakibatkan terjadinya kabut asap yang mengancam nyawa masyarakat Riau saat ini, lebih mungkin terjadi karena ulah small holders yang tak mampu membiayai pembabatan lahannya atau individu setempat yang dimanfaatkan oleh perusahaan.

"Jadi sekali lagi, harus dikaji dari hulu seperti itu, beri mereka insentif baik berupa edukasi tani atau apapun," pungkas Nukila.***