JAKARTA - Polda Metro Jaya menolak dua dari empat laporan jurnalis korban kekerasan oleh aparat dalam peliputan demonstrasi dua pekan terakhir. Dua laporan yang akhirnya diterima pun sempat diping-pong dari satu direktoran ke direktorat lainnya.

Nibras Nada Nailufar, jurnalis Kompas.com yang menjadi satu dari empat pelapor, menceritakan bagaimana poliisi sempat mempersulit pembuatan laporan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers itu. Dia menyatakan mendatangi Polda Metro Jaya pada Jumat lalu, 4 Oktober 2019 pukul 09.00 bersama tiga wartawan lain, yakni Haris Prabowo dari Tirto.id, Tri Kurnia Yunianto dari Katadata.com, dan Vany Fitria dari Narasi TV.

"Kami ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), lalu kami diarahkan ke Direktorat Kriminal Umum," ujar ajeng, sapaan Nibras, Minggu, 6 Oktober 2019.

Saat itu, Nibras cs datang ditemani oleh Ade Wahyudi dari Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Erick Tanjung dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Bidang Advokasi. Masing-masing dari mereka juga telah didampingi oleh satu kuasa hukum.

Saat akan membuat laporan di Direktorat Krimum, petugas justru menolaknya. Nibras mengatakan petugas menolak laporan mereka karena kasus penghalang-halangan kerja pers masuk dalam lex spesialis UU Pers dan harus ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus.

Mereka lalu mendatangi Direktorat Krimsus sesuai arahan. Namun sesampainya di sana, laporan mereka kembali ditolak.n"Petugas bilang kami tidak punya subdit yang menangani UU Pers," kata Nibras. Mereka lalu diarahkan untuk kembali ke Direktorat Krimum.

Nibras mengatakan rombongannya diping-pong berkali-kali oleh kedua direktorat tersebut karena merasa tak punya wewenang menangani Undang-Undang Pers. Bahkan, Nibras mengatakan petugas Direktorat Krimum dan Krimsus sampai duduk bersama untuk menegaskan laporan itu akan masuk ke mana.

Butuh sembilan jam sebelum akhirnya laporan Nibras soal penghalang-halangan kerja pers diterima oleh Direktorat Krimsus dengan nomor registrasi LP/6372/X/2019/PMJ/Dit.Reskrimsus. Pasal yang dilaporkan yaitu Pasal 4 ayat 3 junto Pasal 18 ayat 1 UU nomor 40/1999 tentang Pers dengan terlapor dalam lidik.

Selain Nibras, laporan Tri Kurnia juga diterima namun di direktorat yang berbeda, yakni Direktorat Krimum dengan nomor registrasi LP/6371/X/2019/PMJ/Dit. Reskrimum. Laporan masuk ke direktorat tersebut tindak pidana yang dialami Tri adalah kekerasan aparat. Ia diduga dipukul oleh polisi pada wajah saat kerusuhan 24 September 2019.

Sedangkan untuk Haris dan Vany laporannya tetap tak diterima oleh polisi. Alasannya, tudingan penghalang-halangan kerja pers dan kekerasan yang dilaporkan oleh keduanya kekurangan bukti.

Adapun Vany mengalami penghalang-halangan kerja pers saat aparat membanting telepon genggamnya. Vany diduga merekam aksi aparat yang melakukan kekerasan kepada demonstran. Sayangnya, saat kejadian terjadi tak ada saksi mata di sekitar Vany.

Sedangkan untuk Haris, ia juga mengalami penghalang-halangan kerja jurnalis dan kekerasan dari aparat. Haris mengalami tindak penganiayaan dari aparat berupa pemitingan kepala dan digelandang ke mobil polisi. Ia ditangkap karena merekam debat aparat dengan TNI saat kerusuhan 24 September 2019.

"Laporan saya ditolak karena dibilang kurang bukti. Padahal saya ada rekaman suara dan saksi mata yang melihat waktu saya dipiting," kata Haris.

Kini, Haris dan Vany mengaku akan terus memperjuangkan laporan atas tindakan kekerasan aparat itu. Mereka berencana membawa laporan ini ke Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Mabes Polri.

"Lagi cari hari yang pas minggu depan," kata Haris.

Tindak kekerasan terhadap jurnalis saat peliputan gelombang demonstrasi beberapa pekan terakhir tak hanya terjadi di Jakarta. Di sejumlah kota seperti Medan dan Makassar, kekerasan dari aparat yang tak senang aksi brutalnya terekam kamera juga terjadi.***