JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyoroti kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) soal penampungan dana umrah untuk menjaga keamanan dana jemaah.

Ia meminta agar Kemenag mengkaji lebih dalam serta meminta masukan dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sebelum Peraturan Pemerintah tersebut disahkan.

Ia menilai potensi dana yang tertampung cukup besar. Apabila jumlah jemaah umrah mencapai 1 juta setiap tahun, maka potensi penampungan dana bisa mencapai Rp 20 triliun dengan rata-rata biaya Rp 20 juta.

"Saya memahami diperlukan solusi atas penyelenggara umrah wanprestasi yang merugikan jamaah. Namun penampungan dengan potensi dana besar juga rawan menimbulkan masalah, seperti penyalahgunaan anggaran dan korupsi, yang akhirnya bisa merugikan calon jemaah umrah, penyelenggaraan umrah, dan mencoreng nama Kemenag," ujar HNW dalam keterangannya, Kamis (28/1/2021).

"Oleh karena itu Kemenag harus transparan, dan seluruh pihak khususnya Komisi VIII DPR-RI dan PPIU harus dilibatkan dalam mempersiapkan dan mengawal kebijakan baru ini," imbuhnya.

Anggota DPR-RI Komisi VIII yang membidangi urusan agama ini merinci beberapa hal positif dan negatif dari kebijakan tersebut. Untuk positifnya yaitu akan ada tenggat waktu maksimal keberangkatan dan perlindungan dari penelantaran atau kegagalan keberangkatan.

Namun menurutnya, peningkatan cakupan asuransi berpotensi meningkatkan nilai premi, yang berimbas pada naiknya biaya penyelenggaraan umrah. Jika umrah mahal dan pelaksanaan hukum terkait legalitas PPIU masih lemah, maka akan meningkatkan risiko penipuan umrah bodong yang merugikan banyak jemaah.

Selain itu, meski pengelolaan dana sudah berpusat ke penampungan, namun belum ada jaminan atas dana tersebut bila terjadi wanprestasi. Oleh karena itu, HNW mengusulkan agar penampungan dana umrah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana dana haji.

Di samping itu, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan penampungan dana umrah bukan solusi untuk menyelesaikan masalah penyelenggara umrah tak berizin. Sehingga Kemenag tetap harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum atas penyelenggara umrah bodong.

HNW mengimbau agar jangan sampai mekanisme penampungan dana umrah menyulitkan PPIU, khususnya dalam mengambil dana tersebut untuk penyediaan akomodasi bagi jemaah umrah. Sebab, berkaca dari sistem sebelumnya, yakni Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh), uang jemaah seringkali tertahan dan pencairannya membutuhkan waktu lama.

Terkait hal tersebut, ia menilai pentingnya jaminan LPS sebagai mitigasi apabila dana yang tertahan tersebut berasal dari portofolio macet Bank Penerima Setoran.

"Para jemaah membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit untuk bisa berangkat umrah. Jangan sampai mereka dikecewakan karena pengelolaan dana yang tidak amanah, atau birokrasi yang tidak profesional," ujarnya.

"Di tengah kekecewaan publik atas berlakunya korupsi yang makin ekstrim, hingga Bansos pun dikorupsi, hadirnya amanah dan profesionalitas penyelenggaraan program penampungan dana Umrah, menjadi wajib dipentingkan dan diwujudkan apabila kebijakan ini nanti disahkan," pungkasnya.

Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia berencana membuat rekening penampungan dana ibadah umrah dari jemaah. Rekening itu akan terdaftar dengan nama PPIU yang merupakan biro perjalanan wisata, dan telah memiliki izin usaha penyelenggaraan perjalanan umrah.

Rencana itu sudah dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rekening Penampungan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah. Dikutip dari RPP itu, PPIU wajib membuka rekening penampungan dana jemaah kegiatan umrah pada Bank Penerima Setoran (BPS).***