JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pegawai honorer guru dan perawat yang mengajukan pengujian UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) akibat merasa tidak mendapat kepastian hukum kapan diangkat menjadi PNS.

Dalam sidang pengucapan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan UU ASN mengakomodasi hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada.

Hal itu terkait dalil pemohon yang menyebut UU ASN tidak menyebutkan status dan kedudukan pegawai honorer sehingga tidak terdapat perlindungan untuk pegawai honorer.

Wahiduddin Adams mengatakan dilihat dari permohonan, inti keberatan para pemohon bukan pada keberadaan Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN, melainkan pada Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018.

"Terlihat bahwa isu utama yang dipermasalahkan oleh para pemohon adalah terkait dengan berlakunya Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 yang secara langsung mengakibatkan para pemohon tidak dapat secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS dan juga menjadi PPPK," tutur Wahiduddin Adams.

Dengan demikian, keberatan pemohon bukan terhadap UU ASN melainkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara konstitusional bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilai.

Apalagi pendelegasian seperti itu dibenarkan secara hukum dalam sistem perundang-undangan.

"Dalil para pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN tidak beralasan menurut hukum," kata dia.

Selain itu, dalam putusan, Mahkamah Konstitusi meminta pemerintah mempertimbangkan setiap kebijakan untuk melindungi hak-hak tenaga honorer dengan memperhatikan persyaratan khusus sesuai dengan tujuan pembentukan UU ASN sehingga tercipta pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. ***