JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Saifullah Tamliha mengaku sangat menyayangkan, penangkapan terhadap pelaku tindak pidana terorisme selalu dilakukan setelah pelaku teror tersebut melakukan aksinya.

Padahal menurut Dia, Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Terorisme sudah direvisi. Di UU yang lama, aparat tidak bisa menangkap orang terlebih dahulu sebelum melakukan aksi teror. "Hal itu terus-menerus terjadi, penangkapan selalu setelah teror itu terjadi," kata Saifullah dalam diskusi di Media Center Parlemen, Kamis (1/4/2021).

Setelah pelaku teror melakukan aksinya dan dilakukan penangkapan, kata dia, baru diketahui bahwa pelaku teror tersebut dari salah satu jaringan terorisme di Tanah Air. "Kemudian pemerintah meminta bisa lebih maju. Jadi kalau orang sudah terindikasi sebagai jaringan teror, aparat itu bisa melakukan interogasi penyelidikan atau pendidikan kepada orang yang diduga akan melakukan tindak teror, jadi sederhana," urainya.

Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan itu mengaku yakin, semua jajaran intelijen, baik BIN, BAIS milik TNI, Intelkam milik Polri, Jaksa Agung Muda Intelijen dan seluruh struktur yang ada di intelejen termasuk BNPT, sudah mengetahui jaringan itu, sudah mengerti bahwa jaringan itu sudah terpapar oleh paham paham radikalisme dan terorisme.

"Oleh karena itu kita berharap pencegahan terhadap tindak pidama terorisme itu bisa dilakukan sedini mungkin tanpa terlebih dahulu mereka melakukan teror. Karena konstitusi sudah memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan penangkapan jika dia terindikasi melakukan perbuatan teror," ujarnya.

Dalam revisi UU itu juga mengatur soal pelibatan TNI dalam penindakan tindak pidana terorisme. Namun ada masalah, salah satunya adalah soal anggaran. Anggaran untuk melakukan operasi militer menyangkut tindak pidana terorisme dibiayai oleh APBD, APBN dan sumber lain yang tidak mengikat.

"Komisi I tidak setuju terhadap pembebanan kepada Pemerintah provinsi, kabupaten/kota untuk menyediakan alokasi anggaran untuk penindakan tindak pidana terorisme. Karena kita mengetahui persis bahwa masing-masing daerah punya karakter dan pendapatan masing-masing, tidak semua daerah mampu untuk membiayai di luar kepentingan pembangunan di daerah itu sendiri, itu oleh komisi I diminta agar dihapus," paparnya.

Lalu, sumber lain yang tidak mengikat. Dia menuturkan, Komisi I tidak ingin TNI keluyuran mencari uang dengan alasan untuk ikut serta dalam upaya penindakan terhadap tindak pidana terorisme. Karena UU tentang TNI hanya mengatur bahwa, biaya anggaran TNI itu semuanya berasal dari APBN dan melalui Kementerian Pertahanan.

"Kalau TNI digunakan untuk operasi militer selain perang, konsekuensinya anggaran kan mesti ditambah, sementara untuk tahun 2021 anggaran kemenhan dan TNI turun dari pagu anggaran 137 triliun dipotong oleh pemerintah dalam hal ini Menteri keuangan sebesar 6,5 triliun, itu jauh dari harapan idealnya minimum anggaran TNI," pungkasnya.***