PEKANBARU - Jikalahari dan KontraS menilai Kepolisian Daerah (Polda) Riau ingkar janji atas kesediaannya memberikan dokumen SP3 15 korporasi terduga pembakar hutan dan lahan di Riau tahun 2015 lalu. Hingga kini, dokumen yang dimaksud tidak kunjung diserahkan oleh pihak kepolisian.

Wakil Kordinator Jikalahari, Made Ali, Wakil mengatakan, pada 30 September 2016 lalu, pihaknya bersama KontraS, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Riau serta alumni Sehama bertemu dengan jajaran Polda Riau yang diterima oleh Dirkrimum Polda Kombes Surawan bersama Dirkrimsus Kombes Rivai Sinambela dan Wakil Dirkrimsus AKBP Ari Rachman Navarin. Pertemuan itu diinisiasi KontraS membahas perihal kasus SP3 15 korporasi terlibat Karhutla.

Dalam pertemuan itu, KontraS dan ICEL telah melayangkan surat permintaan dokumen SP3 kepada PPID Polda Riau. Hingga lebih dari dua minggu, surat tersebut belum dibalas oleh pihak Polda Riau. KontraS bahkan sempat mempertanyakan surat tersebut yang dijanjikan oleh Kompol Rivai Sinambela akan dikirim ke alamat kantor Jikalahari, Senin (3/10/2016) lalu.

“Pada hari yang dijanjikan, hingga tengah malam, Jikalahari belum menerima dokumen SP3. Apa yang sesungguhnya disembunyikan oleh Polda Riau?," tanya Made Ali.

Kordinator KontraS, Hariz Azhar, menilai ada kondisi yang bertentangan antara statement Kapolri dengan kondisi riil di lapangan. "Kami menilai akses terhadap dokumen SP3 juga tak menjanjikan untuk dilakukan praperadilan, dan saran Kapolri terlihat sebagai omong kosong dan hanya sebuah bola liar yang digelindingkan dalam kasus SP3 ini," jelasnya.

Penginkaran hak atas informasi publik yang dimiliki masyarakat oleh Polda Riau ini juga semakin menambah kejanggalan ditemukan terkait penerbitan SP3 15 perusahaan. Menurutnya, sudah tidak ada lagi alasan Polda Riau untuk tidak membuka akses masyarakat terhadap informasi SP3 tersebut, mengingat kasus ini sendiri telah dinyatakan selesai oleh penyidik kepolisian, sehingga bukan lagi dokumen termasuk dikecualikan.

"Tindakan Polda Riau yang menutupi akses publik terhadap dokumen SP3 15 perusahaan ini juga secara jelas merupakan bentuk mengahalang-halangi upaya masyarakat untuk mengakses keadilan dan upaya memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat," katanya.

Padahal menurut Haris, sebagimana yang diamanatkan melalui Pasal 17 UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM dan Pasal 70 UU Nomot 32 tahun 2007 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah sangat jelas.

Berdasarkan hak tersebut Jikalahari dan KontraS mendesak pada Kapolri, Jendral Pol. Tito Karnavian untuk, pertama, mengevaluasi kinerja Kapolda Riau Brigjen Pol. Zulkarnain yang tidak transparan terkait upaya penegakan hukum dengan menutup akses masyarakat terhadap dokumen SP3 15 perusahaan yang diduga melakukan kejahatan pembakaran hutan dan lahan.

Kedua, memerintahkan Kapolda Riau untuk mengevaluasi kinerja dan mencopot Direktorat Reskrimsus Polda Riau dengan personil yang berintegritas, transparan dan berani melawan kejahatan korporasi pembakar hutan dan lahan Riau.

Ketiga, sesegera mungkin untuk membuka kembali SP3 terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan kejahatan pembakaran hutan dan lahan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dan korban pelanggaran HAM akibat kejahatan pembakaran hutan dan lahan di Riau.(rls)