JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema mengkritik keras keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memotong alokasi bantuan aspirasi budi daya ikan air tawar sistem bioflok tahun 2021.

Menurut politikus muda PDI Perjuangan yang akrab disapa Ansy Lema itu, KKP seharusnya memprioritaskan bantuan konkret kepada rakyat pembudi daya ikan dan nelayan di tengah pandemi, bukan sebaliknya. Keputusan memotong alokasi bantuan bioflok dari 220 paket menjadi 110 paket secara jelas menunjukkan bahwa KKP tidak berpihak kepada rakyat di tengah Pandemi.

"Baru saja saya mendapat info bahwa KKP telah memotong alokasi bantuan bioflok dari 220 menjadi 110 paket. Ini mengakibatkan bantuan aspirasi melalui anggota DPR untuk memajukan perikanan budi daya di wilayahnya akan dipotong, semula empat paket dipotong menjadi dua paket. Mengapa harus dipotong? Bantuan bioflok adalah bantuan langsung untuk rakyat pembudi daya ikan tawar, selain tepat sasaran juga lebih pasti dalam hal penyerapan anggaran, juga memberi manfaat langsung untuk rakyat," tegas Ansy Lema di Jakarta, Senin (19/7/2021).

Ansy membantah tegas alasan realokasi anggaran dan refocusing kegiatan yang dijadikan alasan KKP untuk memotong alokasi bantuan untuk rakyat. Saat ini pembudi daya ikan air tawar dan nelayan sangat terpukul karena pandemi. Oleh karena itu, realokasi anggaran dan refocusing kegiatan bertujuan untuk membantu rakyat secara tepat, cepat, dan langsung di tengah pandemi. Bantuan bioflok memberikan keuntungan ekonomis kepada kelompok pembudi daya penerima bantuan, dan konsumsi sehat masyarakat untuk meningkatkan imunitas tubuh di tengah pandemi.

"Jangan sampai dengan alasan realokasi dan refocusing, KKP memotong program konkret buat rakyat, para pembudidaya atau nelayan kecil, dan tetap melanjutkan program-program skala besar yang tidak langsung manfaatnya dirasakan rakyat. Semestinya, krisis pandemi membutuhkan kerja nyata untuk membantu rakyat, bukan sebaliknya," ujar Ansy.

Ansy menginformasikan rapat Badan Anggaran DPR RI telah memutuskan bahwa realokasi anggaran dan refocusing kegiatan menyasar pada perjalanan dinas, biaya rapat dan konsumsi, biaya operasioanal kantor dan rehabilitasi, biaya honor, dan lain-lain, bukan pemotongan anggaran untuk rakyat. Justru di saat pandemi seperti saat ini, keberpihakan pada rakyat harus makin diperlihatkan.

Ansy mendesak KKP menyisir ulang kebijakan realokasi anggaran dan refocusing kegiatan agar tetap bisa memprioritaskan bantuan bagi rakyat. "Herannya kebijakan pemotongan alokasi bantuan dilakukan saat reses, sehingga DPR RI tidak dapat melakukan pengawasan langsung. Maka demi keberpihakan dan keadilan bagi rakyat pembudidaya ikan, KKP harus tetap mempertahankan alokasi bioflok, bahkan menambah. Batalkan pemotongan alokasi bantuan bioflok! Karena ketika saya turun menjumpai masyarakat, mereka sangat merasakan manfaat dan mengharapkan bantuan budidaya ikan ini,” kata Ansy.

Ansy menceritakan, pada 2020 tiga kelompok penerima bantuan bioflok di NTT hasil kerja sama dirinya dengan Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya KKP telah sukses mengembangkan perikanan budidaya air tawar. Saat ini mereka telah dua kali memanen bantuan ikan lele untuk dikonsumsi dan dipasarkan kepada konsumen. Karena kesuksesan tersebut, maka pada tahun 2021, ia telah bekerja sama dengan KKP untuk mempersiapkan Calon Penerima Calon Lokasi (CPCL) untuk empat kelompok. Tiba-tiba KKP secara sepihak memotong alokasi bantuan tersebut menjadi dua paket.


"Bisa dibayangkan betapa kecewanya kelompok calon penerima bantuan bioflok. Mereka sudah susah payah menyiapkan semua persyaratan, namun dibatalkan. Dampaknya, anggota DPR dianghap menipu rakyat. Padahal, pemotongan itu dilakukan setelah pengurusan berbagai persyaratan dipenuhi dan anggota DPR hanya diinfokan melalui WA. Mengapa tidak disampaikan saat rapat? Bukankah sudah dibahas saat rapat? Jelas ini memukul semangat kelompok pembudidaya untuk mengembangkan perikanan air tawar,” tegas Ansy.

Pemotongan anggaran ini mengingatkan Ansy perihal gagal cair bantuan KKP tahun 2020 lalu. Saat itu, dari 25 kelompok budidaya di NTT yang akan mendapat bantuan bibit ikan, faktanya KKP hanya merealisasikan bantuan kepada 6 kelompok. Alasan KKP saat itu, gagal cair karena penolakan pembayaran dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kementerian Keuangan. Sebanyak 19 kelompok pun batal menerima bantuan tersebut.

"Padahal, kelompok budidaya di NTT tersebut sudah berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi persyaratan teknis dan sudah membuat buku rekening. Ironis, mereka tidak mendapat bantuan tersebut," ungkap Ansy.

Ansy mendesak KKP untuk memprioritaskan berbagai jenis bantuan pro rakyat, seperti bantuan bioflok karena dapat menolong masyarakat di tengah pandemi. Selain harus menyasar kepada rakyat, realokasi anggaran dan refocusing kegiatan harus dilakukan secara profesional, matang dan transparan agar tidak terjadi kebijakan kontraproduktif di tengah pandemi. Dalam ruang yang terbuka, kebijakan terkait rakyat akan mudah dirumuskan, diperjuangkan, dan dihasilkan.

"Prinsip pandemi saat ini realokasi dan refocusing harus menyasar rakyat, bukan menjauh dari rakyat. Di sini KKP harus secara terbuka menerima masukan agar program-program pro rakyat, terutama kepada pembudi daya air tawar dan nelayan tangkap menjadi napas utama dalam setiap kebijakan di tengah pandemi," pungkasnya.***