JAKARTA -- Dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, pada Kamis (31/8/2006), Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengungkapkan, di Indonesia hanya ada tiga polisi yang baik. Kala itu, Gus Dur melontarkan guyonan di sela menyinggung pemberantasan korupsi.

Lanjut Gus Dur, ketiga polisi itu adalah mantan Kapolri almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso, patung polisi dan polisi tidur. Mendengar lelucon itu, para hadirin yang hadir serentak tertawa. Dikutip dari kontan.co.id, peristiwa itu diberitakan Harian Kompas edisi 1 September 2006.

Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso yang menjabat Kapolri periode 1968-1971, memang dikenal sangat jujur. Banyak kisah tentang kejujuran Hoegeng yang seharusnya diteladani, terutama oleh anggota kepolisian.

Dikutip dari Inews.id, salah satu kisah kejujuran Hoegeng adalah ketika dia tidak mengizinkan putranya mendaftar masuk Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Kisah ini dituliskan wartawan senior bernama Farouk Arnaz dalam buku berjudul ''Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan".

Kisah itu bermula ketika Aditya Soetanto Hoegeng yang merupakan anak kedua dari Hoegeng berniat masuk Akabri. Saat itu, Adit masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).

Adit ternyata bercita-cita masuk Akabri agar bisa berkarier di dunia milter. Untuk bisa mendaftar, salah satu syaratnya harus melampirkan surat izin dari orang tua.

Dengan penuh semangat dan percaya diri, Adit datang ke Markas Besar (Mabes) Polri untuk meminta surat izin orang tuanya, Jenderal Hoegeng.

Sesampainya di Mabes Polri, dia bukannya disuruh masuk namun diminta menunggu oleh ajudan Hoegeng. Tak lama, dia akhirnya diizinkan masuk.

Di momen pertemuan tersebut, untuk pertama kalinya dia melihat sosok Hoegeng bukan sebagai seorang ayah yang biasanya ramah dan hangat kepada anak-anaknya.

Adit mengenang, saat itu Hoegeng hanya melihat ke arahnya dan bertanya apa keperluannya menemuinya di kantor. Sontak saja hal itu membuatnya gugup karena melihat dua sosok yang berbeda dalam waktu bersamaan.

Di satu sisi, dia melihat Hoegeng sebagai ayah kandungnya, namun di sisi lain dia sedang berhadapan dengan seorang Kapolri dan memperlakukan dirinya seperti tamu-tamu lainnya. Setelah menyampaikan niatan membutuhkan surat izin dari orang tua, Hoegeng menjawab nanti saja kepada anaknya. 

Pembicaraan mereka pun tak berlangsung lama. Bahkan, selepas itu Hoegeng sama sekali tidak menyapa atau mempersilakan anaknya duduk. Dia malah meneruskan pekerjaannya yang menumpuk di meja kerja.

Mengetahui sikap ayahnya seperti itu, Aditya langsung pulang. Uniknya, ketika Hoegeng kembali ke rumah, dia sudah bersikap layaknya seperti seorang bapak kepada anak dan suami kepada istri.

''Saya masih ingat saat itu bapak bertanya, hai Dit kamu sudah makan? Beliau sama sekali tidak membicarakan soal tadi yang di kantor,'' kata Adit.

Setelah kurang lebih tiga hari menunggu, tiba-tiba ajudan Hoegeng memberitahu Aditya kalau dirinya telah ditunggu oleh bapaknya di Mabes Polri.

Mengetahui sikap orang tuanya dari pertemuan sebelumnya, Aditya menyiapkan mental dengan matang. Saat tiba di Mabes Polri, Hoegeng bertanya kemantapan hati putranya tersebut masuk ke dunia militer.

Anehnya, kala itu Hoegeng berpesan agar anaknya tidak masuk polisi. Sebab dia tidak ingin ada Hoegeng lainnya di instansi kepolisian.

''Mendengar ucapan itu, saya mau ketawa tapi takut,'' kata Adit.

Selepas berbincang, Adit menanyakan perihal surat izin yang diminta beberapa hari lalu. Akan tetapi, Hoegeng tidak memberikannya malah meminta anaknya pergi.

Adit mungkin berpikir, jika ayahnya tinggal mengirimkan radiogram dari Mabes Polri untuk syarat pendaftaran Akabri. Setelah keluar dari Mabes Polri, dia baru menyadari pendaftaran sudah tutup dua hari lalu.

''Jadi beliau monitor sampai hari pendaftaran tutup, baru dia panggil saya,'' kenang Adit.

Adit pun kecewa dan marah. Bagaimana tidak? Cita-citanya ingin masuk Akabri tidak kesampaian hanya karena ayahnya tidak memberikan surat izin orang tua.

Saking emosinya, Aditya meluapkan kemarahannya kepada kuas-kuas milik Hoegeng yang digunakan untuk melukis. Tanpa pikir panjang semua kuas tersebut digunduli.

Ketika Hoegeng pulang bekerja, dia meminta pembantu untuk memanggil anak laki-lakinya itu. Namun, karena sudah terlanjur kesal dan marah Aditya menolak bertemu dengan bapaknya.

Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng sendiri yang datang ke kamarnya dan mengajak anaknya tersebut berbicara dari hati ke hati. Dengan perasaan yang masih kesal, akhirnya Adit mau keluar kamar dan berbicara di meja makan bersama ayahnya.

Selama pembicaraan, dia sama sekali tidak mau melihat wajah ayahnya karena masih kesal atas kejadian sebelumnya.

''Kala itu bapak bilang, Dit sekarang kita bicara antara Hoegeng dengan dirimu, antara anak dan ayah,'' kata Adit mengulangi pembicaraan saat itu.

Sebelum masuk pada topik utama, Hoegeng terlebih dahulu mengatakan kepada anaknya tersebut jangan berkomentar atau menyanggah sebelum dia selesai bicara.

''Dalam hati ku yang paling dalam, jangan ada lagi yang mengikuti jejak saya di angkatan. Cukup saya saja yang merasakan itu semua,'' kata Hoegeng seperti yang diceritakan ulang oleh anaknya.

Hoegeng juga menjelaskan kenapa tidak mengizinkan anaknya bergabung di Akabri. Hoegeng sama sekali tidak ingin jabatan yang disandangnya sebagai Kapolri akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.

Selepas menjelaskan panjang lebar alasan dia tidak memberi izin anaknya bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya sembari meminta maaf.

Di akhir pembicaraan yang berlangsung di meja makan tersebut, Hoegeng dengan polosnya bertanya kepada anaknya kenapa kuasnya digunduli. Sontak saja hal itu membuat perasaan anaknya yang tadi penuh amarah langsung berubah drastis sambil menahan senyum.

Adit mengaku belajar banyak dari ayahnya. Padahal, jika ingin masuk Akabri apalagi jadi anggota polisi, tentu saja bisa dikatakan peluangnya jauh lebih besar dari calon lainnya.

Akan tetapi, sosok Hoegeng melihat satu langkah lebih jauh dari yang dipikirkan anaknya. Selain itu, dia menilai bapaknya sebagai orang yang sangat humanis dalam mendidik anak-anaknya.***