Meskipun hingar bingar pasca pesta demokrasi sedang mengemuka di seluruh ruang masyarakat dalam satu minggu terakhir, namun tidak banyak yang mengetahui bahwa proses pemilihan pemimpin nasional tersebut adalah bagian dari pendekatan perencanaan pembangunan nasional.

Hiruk pikuk politik pada Pemilu 2019, tak boleh dijadikan alasan untuk menghambat proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Perubahan fundamental dalam pengelolaan pembangunan terjadi sejak amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah berlangsung sebanyak empat kali, dengan penguatan peran lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional.

Setelah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak adanya GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan, maka saat ini penyusunan rencana pembangunan nasional bertumpu pada UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Undang-Undang Nomor 25 tentang SPPN menggunakan empat pendekatan dalam rangkaian perencanaan pembangunan yaitu politik, teknokratik, atas-bawah (top down) dan bawah-atas (buttom- up). Pendekatan politik dalam perencanaan pembangunan memandang bahwa pemilihan Presiden/Wakil Presiden adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon presiden. Rencana pembangunan pada akhirnya merupakan penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan Presiden/Wakil Presiden.

Konsepsi inilah yang menyebabkan kontestasi pemilihan pemimpin nasional menjadi faktor penting dalam menentukan masa depan rencana pembangunan nasional.

Akhir Hayat GBHN

Pasca kejatuhan Orde Baru, sempat terjadi kevakuman pelaksanaan pembangunan karena adanya proses transisi politik tahun 1998-1999. Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR tahun 1998, semestinya pada tahun itu Indonesia sudah memasuki Repelita VII. Namun krisis ekonomi yang menghantam Indonesia memudarkan semua impian rencana pembangunan yang telah disusun sejak masa awal Orde Baru dengan istilah tinggal landas. Tap MPR Nomor II/MPR/1998 tentang GBHN yang merupakan produk era Orde Baru kemudian dicabut dan diganti dengan Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Pokok reformasi pembangunan ini agak berbeda dengan kelaziman GBHN yang biasanya ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu panjang dan memang dibuat hanya untuk masa transisi yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie.

Dalam dokumen ini juga dijelaskan bahwa ketetapan ini hanya berlaku untuk kurun waktu sampai terselenggaranya Sidang Umum MPR hasil pemilihan umum 1999. MPR RI hasil pemilu 1999 masih menghasilkan dokumen GBHN yang merupakan GBHN penghabisan dalam sejarah di Republik ini melalui TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Pada zaman Order Baru GBHN merupakan Haluan Negara tentang pembangunan nasional, sementara GBHN era reformasi merupakan haluan penyelenggaraan negara. Implikasinya semua lembaga tinggi negara pada saat itu wajib melaksanakan GBHN dan memberikan pertanggungjawaban pada MPR, sedangkan GBHN zaman Orde Baru pelaksanaannya ditentukan oleh Presiden sebagai mandataris MPR dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atas tugas menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara pada akhir masa jabatannya.

Perencanaan Pembangunan Dan Kepemimpinan Nasional

Hendra Wahanu (Perencana Bappenas) mengemukakan bahwa aspek kepemimpinan menempati bagian penting dalam pendekatan perencanaan pembangunan. Sejalan dengan kaidah perencanaan pembangunan nasional, berbagai literatur modern juga menunjukkan bahwa faktor pemimpin merupakan aspek yang signifikan dalam sistem perencanaan dan organisasi. Thomas J Chermack dalam bukunya Scenario Planning in Organizations (2011) mengemukakan bahwa kepemimpinan diibaratkan sebagai bahan bakar yang akan memberikan daya dorong bagi kendaraan pembangunan untuk mencapai tujuan organisasi.

Dalam konteks sistem ketatanegaraan saat ini, dibutuhkan pemimpin yang mampu memadukan berbagai potensi dalam pendekatan perencanaan untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan nasional.

Calon pemimpin nasional yang saat ini sedang bertarung diharapkan mampu memberikan gambaran program yang terstruktur dan terukur yang akan dijalankan apabila nantinya terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden. Program-progam yang saat ini sedang ditawarkan oleh para calon pimpinan nasional juga perlu mendapatkan pengayaan dari pendekatan teknokratik, top-down dan buttom-up. Hal ini dikarenakan perencanaan pembangunan dibuat bukan hanya sekedar untuk menghasilkan dokumen yang berisi jargon politik, namun untuk diimplementasikan dalam rangka mengatasi gap antara sumber daya pemerintah yang terbatas dengan tujuan nasional yang harus dicapai.

Antara GBHN dan RPJPN

Pasca-Orde Baru, GBHN yang dijadikan panduan utama dalam merumuskan rencana pembangunan negara dihapus. Ini merupakan konsekuensi dari amandemen konstitusi UUD 1945 khususnya pasal 3 yang mencantumkan secara eksplisit tiadanya GBHN. Sebagai gantinya, negara membuat sistem perencanaan pembangunan nasional yang menjadi panduan dalam merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPN ini akan dibuat turunannya per lima tahun dengan sebutan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); Lima tahun diambil dari masa kerja Presiden/Wakil Presiden dan Rencana Pembangunan Tahunan atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Hal ini juga diikuti oleh Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Dokumen-dokumen perencanaan ini terkesan semua tertata dengan baik, benar dan hanya tinggal dijalankan saja. Dalam RPJPN tersebut tercantum Visi 20 tahun (2005-2025): Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Juga ada sederet misi 20 tahun antara lain: mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral, mewujudkan bangsa yang berdaya saing, memujudkan masyarakat yang demokrastis dan berlandaskan hukum, mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan bersatu. Dalam kenyataannya setelah terlewati 3 RPJMN (14 tahun), sepertinya sangat jarang sekali pembicaraan yang menyangkut RPJP dan RPJM pusat dan daerah ini. Artinya segenap masyarakat tidak tahu apa yang mau dikerjakan, apa yang sedang dibangun, kapan selesainya. Perencanaan pembangunan di Indonesia pasca-reformasi mengalami kegalauan, tidak ada arah dan saling berbenturan antara pusat dan daerah. Belum lagi bicara soal kesinambungan program-program pembangunan yang bisa jadi mengalami keterputusan ketika terjadi pergantian pemerintahan.

Kondisi ini sangat berbeda sekali dengan era GBHN. Pada saat itu seingat penulis, sangat sering dibahas dan bahkan selalu menjadi soal ujian di sekolah dan Universitas. Jadi segenap masyarakat mengetahui apa dan kemana arah pembangunan Negara ini. Sementara sekarang ini agak melemah dalam hal penjiwaannya kepada masyarakat. Masyarakat juga belum pernah terjelaskan secara baik tentang kontrol dari DPR/DPRD bahwa apakah telah pemerintah menjalankan RPJPN/RPJPD dengan baik dan benar. Padahal Visi/Misi 20 tahun ini hanya tinggal penggalan lima tahun tersisa untuk dicapai.

Kembali ke GBHN ?

Hendra Wahanu (Perencana Bappenas) mengemukakan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional/Daerah pasca reformasi ini melahirkan berbagai masalah diantaranya: (1) penyusunan dan pelaksanaan RPJMN/RPJMD dan RPJPN/RPJPD dipandang lemah, karena executive perspective; (2) terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas pelaksanaan RPJMN/RPJMD dengan RPJPN/RPJPD karena pergantian Presiden/Kepala Daerah 5 tahun sekali; (3) RPJM Nasional tidak sinkron dengan RPJMD Daerah, karena RPJM Daerah disusun menurut perspektif daerah dan tidak pernah di assessment oleh Bappenas/Kemendagri secara terintegrasi.

Menurut Imam Subhkan, tenaga ahli Komisi X DPR RI (2014), RPJM yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemajuan negara-negara tetangga lainnya. Kita banyak mengalami kemunduran dalam pembangunan sebuah bangsa. Keinginan menghadirkan GBHN sebenarnya lebih disebabkan oleh sistem kekuasaan yang mengatur praktik pembangunan, bukan semata-mata bentuk pengetahuan dalam dokumen perencanaan pembangunan. Untuk melihat bagaimana perencanaan pembangunan pasca-Orde Baru dirancang dan dilaksanakan, diperlukan penelitian lanjut dengan melakukan kajian serius pada level mikro di tingkat lokal. Dari sini kita akan bisa melihat bagaimana RPJPN/RPJPD yang ditujukan sebagai pedoman perencanaan pembangunan oleh aktor-aktor pembangunan, dijadikan acuan ataukah sekedar berhenti pada tumpukan dokumen saja dalam perencanaan pembangunan.Penerapan kembali sistim GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian yang komprehensif dan holistik. Di suasana arena ,wajah dan struktur politik telah berubah, seharusnya GBHN dapat dijadikan roh dalam setiap penyusunan pembangunan yang berkesinambungan, sehingga pembangunan akan kembali berjalan ke tujuannya yaitu: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Semoga..

Penulis: Rahmad Rahim. Ia merupakan Fungsional Perencana Madya - Bappeda Provinsi Riau.