JAKARTA - Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko angkat bicara terkait banyak pihak yang melemparkan tuduhan-tuduhan miring kepada pemerintah sebagai respon Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).

"Mungkin ada berbagai pihak yang curiga macam-macam. Begini loh, kita mesti rasional lah," kata Moeldoko dalam rekaman suara yang diterima, Rabu (20/1) dilansir dari CNNIndonesia.com.

Perpres ekstremisme, dijelaskan Moeldoko, dibuat untuk memperkuat keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena, kamtibmas tidak bisa hanya dibebankan kepada Polri saja. Apalagi, jumlah aparat kepolisian di Indonesia sangat sedikit.

Sehingga, menurut Mantan Panglima TNI ini, Polri tidak akan mampu menangani seluruh ancaman ekstremisme.

"Jumlah polisi kita itu sekitar 470 ribu, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500, kurang lebih, masyarakat. Padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50," ucapnya.

Alasan lainnya, Moeldoko menyebut pemerintah dalam posisi waspada, dan pemerintah tidak ingin teledor membiarkan ekstremisme, hanya karena dikritik mirip Orde Baru.

Dia menegaskan Perpres ini telah didukung oleh puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehingga ia menilai Perpres ini telah melibatkan masyarakat.

"Kurang lebih ada 50 CSO yang meng-endorse mulai dari 2017 agar perpres ini bisa dilahirkan. Berikutnya ada 18 kementerian/lembaga, perguruan tinggi, dan pihak yang terlibat di dalam meng-endorse perpres ini," ujarnya.

"Ya di antaranya, Wahid Foundation," imbuhnya.

Presiden Jokowi menerbitkan Perpres RAN PE untuk merespons tumbuh kembang ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme.

Perpres tersebut mencantumkan lima sasaran dari RAN PE, termasuk di antaranya melibatkan masyarakat sipil turut serta dalam penanggulangan ekstremisme.***