JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah melantik 34 menteri dan 12 wakil menteri, yang akan menjadi tim pembantunya di Kabinet Indonesia Maju lima tahun kedepan.

Pengamat politik CSIS Arya Fernandez menilai perombakan kabinet atau "reshuffle" mungkin terjadi di kepemimpinan kedua Jokowi karena Presiden ingin memaksimalkan kerja para pembantunya di kabinet.

Karena itu dia menilai, para menteri dan wakil menteri harus siap di-reshuffle kalau kinerjanya dianggap tidak baik oleh Presiden.

"Reshuffle itu mungkin terjadi karena terkait evaluasi dengan begitu kita butuhkan satu lembaga kepresidenan yang kuat," kata Arya dalam diskusi bertajuk "Kabinet Indonesia Maju dan PR Bangsa", di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, (30/10/2019) siang.

Arya Fernandez memprediksi, kemungkinan reshuffle Kabinet Indonesia Maju akan terjadi di tahun pertama. "Kalau kita lihat jejak apa yang terjadi di priode pertama, Pemerintahan Jokowi melakukan tiga kali reshuffle, tahun 2015, masuknya Golkar ada di 2016 dan di 2018, tiga kali seingat saya," ujar Arya.

Menurut Arya, kabinet yang sudah terbentuk saat ini lebih kepada untuk mengakomodasi kepentingan partai, sehingga Presiden Jokowi memiliki kendala dalam menciptakan ‘dream team’.

"Itu terkendala karena presiden harus melakukan akomodasi yang sangat besar ke partai-partai dan tidak hanya ke partai-partai pendukung pemerintah tapi juga kepada partai partai yang menjadi rivalnya," ungkap Arya.

Arya menambahkan, kemungkinan reshuffle juga terjadi karena di saat bersamaan, Presiden ingin membenahi tim dalam kabinetnya di tahun kedua, setelah mengakomodasi kepentingan partai pendukung.

“Untuk itu, reshuffle juga mungkin terjadi karena mungkin terkait soal evaluasi, dengan begitu kita butuhkan satu lembaga kepresidenan yang kuat, yang dari hari ke hari bisa melakukan, memberikan masukan kepada presiden, evaluasi presiden terkait kabinet ini menjadi terukur. saya kira itu,” ujar Arya.

Dalam diskusi tersebut, anggota Komisi VII DPR RI Arkanata Akram berharap para menteri dan wakil menteri pada Kabinet Indonesia Maju, terutama yang masuk dalam tim ekonomi, mampu bekerja maksimal untuk dapat mewujudkan visi dan misi Presiden menuju Indonesia Maju.

"Apakah itu sebuah ‘dream team’ atau bukan, saya kira Bapak Jokowi yang juga sudah pernah menjadi Presiden sebelumnya dari 2014-2019 juga memiliki pengalaman yang cukup, pengalaman yang juga tidak bisa dikatakan sedikit, sehingga dia sudah tahu permasalahan apa saja yang akan dihadapi," kata Arkan.

Terkait kemungkinan akan adanya reshuffle pada Kabinet Indonesia Maju, Politisi milenial Partai NasDem tersebut memandang hal tersebut menjadi hak prerogatif Presiden untuk menentukannya, berdasarkan kinerja yang dibuktikan.

"Itu menjadi hak prerogatif Presiden, sehingga kita kembalikan lagi ke presiden. Tugas kami saat ini adalah selalu mendukung,” ungkap Arkan.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai tim ekonomi yang ditunjuk Presiden Joko Widodo kurang ideal untuk merespon tantangan ekonomi domestik maupun global.

"Karena ada tekanan partai politik, kabinet yang harusnya diisi oleh profesional, khususnya kami mencermati bidang ekonomi, yang bisa diandalkan justru hanya satu orang yakni Ibu Sri Mulyani Indrawati,” kata Bhima.

Kendati demikian, kinerja tim ekonomi Jokowi perlu diberi waktu untuk membuktikan kinerjanya, yang nantinya dapat diukur dengan indikator-indikator ekonomi, di antaranya data neraca perdagangan.

"Jadi kalau 100 hari ke depan neraca perdagangan kita tidak membaik dan justru memburuk, defisit perdagangan kita memburuk, maka ini akan menjadi evaluasi untuk melakukan reshuffle kabinet ke depan," ujarnya.***