JAKARTA - Pembunuhan keji yang diduga dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) baru-baru ini, menjadi perhatian aparat, pemerintah dan DPR. Sulteng, diketahui sebagai wilayah kerja operasi Tinombala, sebuah operasi gabungan TNI-Polri dalam memberantas terorisme yang dibentuk sejak 2016.

Dalam sebuah diskusi gelaran Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Senayan, Jakarta, Selasa (1/12/2020), efektivitas strategi dan kinerja operasi Tinombala menjadi sorotan.

"Sigi dan Tinombala ini, ini yang saya bilang perlu evaluasi. Evaluasi yang bukan hanya kita megeluhkan soal medan, tapi kenapa ini berlarut-larut? Kenapa kemudian kita menyelsaikan persoalan (menangani, red) nggak sampai 20 orang (anggota MIT, red) ini dengan ribuan personel yang sudah diterjunkan bertahun-tahun tapi tidak selesai. Apakah hanya kendala medan, apakah hanya kendala peralatan, sarana prasarana, atau apa?" kata Pengamat Militer dan Pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi.

"Atau ada pembiaran," sahut salah seorang yang ada di ruangan diskusi.

Sebatas ingatan GoNews.co dan moderator diskusi Selasa siang itu, sahutan tersebut muncul dari narasumber unsur Komisi III DPR RI, Arsul Sani.

Usai gelaran diskusi, Arsul menyatakan pada GoNews.co bahwa langkah kongkret yang bisa ditempuh selanjutnya adalah, tetap melanjutkan operasi Tinombala, sembari tetap mendalami kendala yang mereka alami.

"Diteruskan, tapi kan nanti kita tanyakan kenapa belum selesai-selesai, itu saja," kata politisi PPP itu.

Senada dengan Arsul, Khairul juga berpandangan bahwa operasi Tinombala memang bisa dilanjutkan.

"Untuk sekarang, pembubaran operasi Tinombala bukan opsi yang menarik karena ancaman masih ada sehingga harus diselesaikan," kata Khairul kepada GoNews.co saat hendak keluar dari ruang diskusi pers DPR RI.

Mengutip pernyataan analis dan pengamat terorisme, Mardigu Wowiek dalam sebuah podcast beberapa bulan lalu, dunia intelijen mengenal istilah hornet nest. Ini sebutan bagi upaya untuk memantau pergerakan target dengan tetap menyisakan jumlah target dalam jumlah kecil tertentu.

Sebagai pengingat, insiden pembunuhan 4 orang anggota keluarga di Sigi tersebut berujung pada diskursus mengenai urgensi Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Eksistensi Perpres tersebut merupakan amanat dari Pasal 43I ayat (3) UU No 5 tahun 2018. Meskipun, peran TNI dalam hal ini juga sudah lebih dulu diatur dalam Pasal 6 dan 7 UU 34/2004.

Menurut Khairul, persoalaan Sigi dan Tinombala bukan lagi mengenai regulasi, urgensi Perpres bukan lagi perdebatan karena memang merupakam amanat UU yang ada. Tapi, teknis pelaksanaan kewenangan tersebut yang perlu diatur, seperti menetapkan skala ancaman, sehingga jelas pada saat mana TNI berperan.

Hampir senada dengan Khairul, anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon berpandangan, yang terpenting dalam hal penanggulangan terorisme bukan soal regulasi pelibatan TNI, melainkan political will dari pemerintah. Toh TNI memang punya kewenangan itu berdasarkan UU. Untuk Perpres, menurut Effendi, bahkan Presiden seharusnya tak perlu berkonsultasi dengan DPR.

Jika pun dibutuhkan regulasi pendudukung, menurut Effendi, adalah kehadiran UU Keamanan Nasional, sebagai UU induk.

"Kok Indonesia tidak mau menerbitkan UU Kamnasnya?" kata politisi PDIP itu.***