JAKARTA -- Doa qunut dalam shalat dijadikan soal tes wawasan kebangsaan (TWK) para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, dinilai tidak ada hubungannya dengan tugas pokok dan fungsi pegawai KPK.

Dikutip dari Republika.co.id, Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Dadang Kahmad menegaskan, penggunaan isu qunut untuk mengukur profesionalitas seseorang sangat tidak relevan. Apalagi jika qunut digunakan untuk mengukur nasionalisme seseorang.

''Tidak relevan, kalau sampai itu jadi ukuran profesional seseorang sangat tidak elok. Apalagi ukuran nasionalisme, profesionalisme atau kesetiaan saya kira tidak relevan,'' jelasnya saat dihubungi Republika, Rabu (5/5/2021).

Dirinya menyayangkan, jika memang hal ini terjadi dan mempertanyakan maksud pembuat soal menjadikan qunut sebagai soal dalam TWK.

''Kalau memang itu terjadi kenapa harus itu pertanyaannya, untuk mengukur apa?,'' katanya.

''Ini (qunut) ikhtilaf, saling menghormati keyakinan praktik ibadah masing-masing, karena di tengah kaum muslimin memang banyak sekali praktik yang sangat berlainan dan itu dijamin oleh Allah. Kita harus saling menghormati satu sama lain,'' tambahnya.

Menurutnya, warga Muhammadiyah memang tidak mewajibkan qunut sebagai bagian dari shalat Subuh, tapi tetap menghormati keyakinan atau pendapat yang lain. Setiap pendapat disebutnya memiliki dalil yang diyakini sehingga tidak perlu dipersoalkan.

''Kalau menjadi pertanyaan kan memaksakan ideologi, seperti memaksakan kehendak. Yang disebut radikal itu kan yang memaksakan keyakinan pada orang lain,'' tuturnya.

Dadang mengatakan, Muhammadiyah meyakini pembacaan qunut dalam shalat Subuh tidak wajib. Hal ini sesuai dengan pedoman hasil keputusan tarjih Muhammadiyah yang kemudian dijalankan warga Muhammadiyah.

''Yang tertera dalam pedoman hasil keputusan tarjih bahwa qunut itu tidak hanya di subuh saja. Tidak didawamkan (dilakukan terus menerus) menjadi sebuah kewajiban atau menejadi sesuatu yang melekat,'' jelasnya.***