SELATPANJANG – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Meranti, M Tartib mengaku tak tahu poin-poin perjanjian perihal kompensasi yang telah dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD setempat.

Ia juga mengatakan, dirinya dipaksa Ketua DPC Gerindra yang saat itu dijabat Taufikurrohman untuk menandatangani surat, sebagai strategi untuk mendulang suara pemilih yang sudah dikonsep dan bukan hasil dari musyawarah.

"Saya disuruh teken di lembaran terakhir. Saya tidak tau apa saja isi komitmen itu," kata Tartib menjawab, Rabu kemarin.

Tartib mengaku tak ingat perihal rapat konsolidasi yang disebut Mulyono sehari sebelum komitmen kompensasi ditandatangani. Dan dirinya tidak ada memberi uang kompensasi yang disebut dua bulan itu.

"Hanya satu kali, itu pun bukan uang saya dan bukan dari saya. Saya minta bantu sama Yasin, saudara saya untuk membantu dia (Mulyono) karena bertanya terus," kata Tartib membantah pernyataan Mulyono.

Ia mengatakan, untuk kegiatan pelatihan itu tidak ada. Pokir tidak dilaksanakan karena ada rasionalisasi anggaran. Tartib menegaskan bahwa dia tidak akan membayar kompensasi kepada Mulyono dan Syamsul Mungin. Sebab, menurutnya, surat perjanjian itu tidak ada legal standing dan gagal hukum.

"Itu batal demi hukum. Buka saja 1320 KUH perdata, syarat sah perjanjian sebab yang halal. Ini terkesan jual beli suara, itu tidak boleh. Makanya, ini batal demi hukum. Lagi pula tanpa suara mereka, saya juga jadi. Saya memperoleh 1.500 lebih suara saat pemilihan kemarin. Mereka juga tidak mencari suara untuk saya kan," tambah Politisi Gerindra itu lagi.

Tartib juga menyarankan Mulyono dan Syamsul Mumgin melapor ke penegak hukum kalau memang ada indikasi dia ingkar janji. "Jangan memfitnah, jangan menggiring opini, kalau saya ingkar janji lapor saja ke penegak hukum. Nanti kita buktikan di peradilan," tegas Tartib.

Sebelumnya, M Tartib dituding ingkar janji karena tidak membayar kompensasi kepada dua orang calon legislatif (caleg) periode 2019-2024, sesuai perjanjian yang telah ditandatangani bersama pada 2018 silam.

Dua caleg Gerindra yang menuntut Tartib agar membayar kompensasi itu yakni Mulyono warga Kecamatan Tebingtinggi dan Syamsul Mungin warga Tebingtinggi Barat. Mereka termasuk Tartib merupakan tiga dari 8 orang caleg dari daerah pemilihan Meranti III (Kecamatan Tebingtinggi Barat, Rangsang Barat dan Rangsang Pesisir).

Seperti diakui Mulyono terkait perihal perjanjian kompensasi yang diingkari Tartib, sebelum penandatanganan perjanjian pada 22 September 2018, DPC Partai Gerindra Kepulauan Meranti menggelar rapat konsolidasi yang dimotori Ketua Taufikurrohman, Sekretaris Basiran dan Bendahara Tartib.

Dalam rapat ini, kata Mulyono, dibahas upaya meraup banyak suara di Dapil masing-masing agar bisa mengantarkan caleg ke kursi legislatif dan bisa membesarkan partai.

"Caleg bekerja maksimal dalam mencari suara, diarahkanlah supaya buat perjanjian. Ada semacam reward dan angin surga lah bagi caleg penyumbang suara," kata Mulyono di Selatpanjang, Kamis.

Sehari setelah rapat tepatnya pada 23 September 2018, dilakukan penandatanganan perjanjian kompensasi. Dalam berita acara perjanjian disebutkan, bagi caleg yang memperoleh suara minimal 300 akan menerima kompensasi sebesar Rp1,5 juta per bulan.

Apabila dalam satu dapil ada dua anggota legislatif, maka anggota yang tidak jadi berhak menerima insentif sebesar Rp2,5 juta. Selain itu, bagi yang tidak jadi anggota DPRD, berhak mendapatkan kegiatan aspirasi atau pokir minimal satu kali selama satu periode (5 tahun).

"Perjanjian ini bertujuan agar kawan-kawan caleg berusaha sepenuh hati dan maksimal mencari suara, demi membesarkan partai. Tartib orang yang pertama menandatangani itu di atas materai. Kompensasi ini harusnya dibayar caleg terpilih setelah dilantik dan menerima gaji," beber Mulyono.

Setelah Tartib terpilih menjadi anggota DPRD Meranti periode 2019-2024, dia hanya menerima kompensasi sebanyak dua kali dengan besaran Rp2 juta dalam sekali terima.

"Itu pun setelah saya tanya-tanya terus perihal janji kompensasi. Sementara Syamsul Mungin sama sekali tidak ada menerima sampai saat ini. Padahal suara yang diperolehnya melebihi ambang batas yang disepakati," imbuh Mulyono.

Setelah menilai tak ada itikad baik dari Tartib perihal menepati janji kompensasi, Mulyono dan Syamsul Mungin sampai melayangkan tiga kali gugatan. Gugatan pertama pada 8 Juni 2020 dengan menyurati DPC Gerindra Kepulauan Meranti.

Kemudian gugatan kedua pada 19 Agustus 2020 dan gugatan ketiga pada 17 Februari 2021. Sebelum berkali-kali melakukan gugatan, kata Mulyono, Tartib berjanji akan memberikan pekerjaan melalui pokir, untuk menggantikan kompensasi yang belum dibayar.

"Setelah gugatan pertama, kami dimediasi Ketua Taufikurrohman di kediamannya. Waktu itu Tartib janji akan menyelesaikan persoalan ini, ternyata tidak. Saya bahkan dijanjikan dua pekerjaan, tapi pokir itu tidak terealisasi. Anggaran pokir dialihkan di APBD-P menjadi kegiatan pelatihan oleh dinas," kata Mulyono lagi.

Usaha lain dalam memperjuangkan kompensasi yang dijanjikan, Mulyono dan Syamsul Mungin melaporkan Tartib ke Badan Kehormatan DPRD Meranti. Ia berharap BK bisa menasehati Tartib agar tidak mengingkari janji, sebab jika prilaku ini terus berlanjut dan dikhawatirkan akan merusak citra wakil rakyat.

"Jika dengan kawan satu partai saja ingkar janji, tak menutup kemungkinan juga dilakukan dengan masyarakat. Yang jelas, kami sudah bertemu dengan BK dan kami tunggu hasil dari BK ini. Kemarin waktu kami dipanggil BK, dia (Tartib) tak hadir," aku Mulyono.***