JAKARTA - Mantan Menko Bidang Perekonomian Chairul Tanjung (CT) mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan startup yang saat ini berkembang didominasi kepemilikannya oleh pihak asing.

"Jangan berpikir Gojek itu milik anak bangsa, jangan berpikir Tokopedia itu milik anak bangsa, jangan berpikir semua yang ada saat ini milik anak bangsa. Bulshit," kata CT dalam Seminar Nasional dan Kongres ISEI XX 2018 di Bandung, Jumat (10/8/2018).

Dia berargumen, anak bangsa yang memiliki berbagai startup tersebut hanya memiliki saham yang kecil. Sebaliknya, kepemilikan saham terbesarnya adalah pihak asing.

"Kenapa? Karena milik anak bangsanya itu sudah tinggal mungkin ada yang 1%, ada yang 2%," ucapnya.

"Kenapa? Karena model bisnisnya membuat hal seperti itu. Investornya masuk USD1 billion, mengambil alih langsung 97%, yang founder disisain 3%. Besok dia masuk lagi (membeli saham), turun lagi (kepemilikan founder), lama-lama selesai," jelas CT.

CT mengingatkan agar warga jangan berpikir senang ketika ada investor asing yang masuk ke Indonesia. Sebab, ada dampak jangka panjang yang akan terjadi.

"Ini masalah kita. Kita tidak pernah berpikir secara holistik. Kita berpikir senang kalau ada investor asing. Tapi jangan lupa, begitu dia kuasai, 5-10 tahun lagi perusahaan ini akan membesar, menghasilkan deviden," ungkapnya.

CT mencontohkan dividen saat ini yang mencapai USD1 juta yang dibayarkan Indonesia ke luar negeri. Itu karena banyak perusahaan yang dimiliki oleh investor asing di Indonesia.

"Itu juga yang membuat kita defisit. Karena tidak melihat secara holistik dan ada jangka pendeknya, menengah, panjang. Ini menjadi isu yang sangat signifikan. Sudah (kepemilikan saham orang Indonesia) tambah kecil, tambah kecil, dan akhirnya akan hilang," tuturnya.

CT mengatakan, saat ini, para investor juga mau 'membakar uangnya' untuk mendapatkan database sebagai investasi jangka panjang. Dia mencontohkan investor Gojek yang rela mengucurkan dana banyak setiap bulan untuk menghidupkan Gojek."Tidak kurang tiap bulan Gojek membakar uang lebih dari USD30 juta, hampir Rp400 miliar," ujarnya.

"Untuk apa (investor menggelontorkan dana sebanyak itu)? Untuk dapetin yang namanya database. Dari database itu mereka nanti (investor) mencoba meng-create yang namanya ekosistem. Dari situ mereka mau menguasai ekonomi, kalau ini berhasil," tandas CT.***