JAKARTA - Pemerintah didorong untuk semakin tegas dan terintegrasi dalam melakukan penanganan terhadap pandemi Covid-19 saat ini. Karena selain wabah, ancaman lain juga mulai muncul di tengah masyarakat, yaitu krisis multidimensional.

Pernyataan ini, muncul dalam diskusi online yang diadakan oleh Lembaga Kajian Dialektika (LKD) dengan tema Ancaman Radikalisme di Tengah Wabah Pandemi Covid-19, Jumat (17/04/2020) malam.

Dipandu oleh Direktur LKD, Muhammad Khutub, hadir sebagai narasumber Rezky Tuanany (Pemuda Bravo 5), Jenny Erfina Saragih (Young Interfaith Peacemaker Community), Arya Prasetya (Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia), I Gusti Made Arya Suta Wirawan (Dosen Universitas Pendidikan Ganesha), Adhi Nur Seto (Wasekjen PB HMI), dan Imam M Sumarsono (Jurnalis).

Dalam pernyataannya, Rezky Tuanany menegaskan bahwa pemerintah sudah harus melakukan penerapan kebijakan dalam penanganan Covid-19 secara tegas. Bukan hanya dalam hal penanganan di sektor kesehatannya saja. Tapi juga efek lain yang muncul di masyarakat, yaitu persoalan ekonomi dan ancaman terhadap situasi keamanan dan ketertiban.

"Akibat wabah pandemi ini, kita tahu bahwa sektor usaha banyak yang lumpuh. Banyak orang yang tidak bisa bekerja. Termasuk generasi milenialnya. Nah, ini yang juga harus segera diatasi oleh pemerintah. Harus ada kebijakan untuk generasi milenial yang terimbas secara ekonomi akibat penyebaran wabah," tegasnya.

Rezky melihat bahwa akibat lumpuhnya usaha di sektor ekonomi, berpotensi untuk menimbulkan ancaman terhadap gangguan keamanan dan ketertiban. "Karena itulah, peran TNI, Polri dan BIN harus makin dikedepankan, dan diperkuat dengan berbagai dukungan lintas sektor," katanya.

Diungkapkan, bahwa ancaman munculnya radikalisme di tengah penanganan pandemi Covid-19 ini bisa memicu konflik sosial. Sebagai contoh, Rezky mengungkapkan soal kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memberikan prioritas pada warga dari kalangan menengah ke bawah yang membutuhkan. Sementara, dari kalangan perantau dan milenial belum ada program khusus.

Menurut Rezky, karena ruang aktivitas ekonominya tertutup, kondisi ini berpotensi melahirkan paham radikal di tengah-tengah masyarakat.

Rezky menyebut radikalisme bisa disebabkan oleh dua hal, yakni penyebaran ideologi dan faktor ekonomi. Dan saat ini, radikalisme paling potensial disebabkan oleh ekonomi.

Diingatkan oleh Rezky, interaksi kini lebih sering berbentuk virtual untuk menghindari kontak fisik untuk mencegah penyebaran Covid-19. Akibat dari situasi ini, pandemi Covid-19 bisa membawa perubahan yang ekstrem di tengah masyarakat. Terutama potensi penyebaran paham radikalisme.

Potensi penyebaran paham radikal di tengah pandemi Covid-19 juga disampaikan oleh Jenny Saragih dari Young Interfaith Peacemaker Community. Menurutnya, mahasiswa dan pelajar menjadi kelompok yang paling rawan terpapar paham radikal.

“Peluang mereka terpapar dengan isu-isu radikalisme dan terorisme jadi semakin tinggi, karena waktu yang digunakan di ruang virtual saat pandemi Covid-19 ini lebih banyak,” kata Jenny.

Untuk mencegahnya, Jenny mengusulkan adanya dialog yang mendalam yang membahas tentang prasangka-prasangka atau kesalahpahaman yang menyebabkan tindakan intoleran.

Hal senada disampaikan oleh Adhi Nur Seto, Wasekjen PB HMI. Menurutnya, solusi paling efektif untuk mencegah penyebaran paham radikalis adalah dengan dialog.

Adhi mengatakan bahwa kelompok yang mudah terpapar radikalisme adalah kelompok yang eksklusif atau tertutup. Hal ini yang membedakan radikalisme saat ini dengan radikalisme zaman dahulu.

Dulu, lanjut Adhi, radikalisme muncul karena ketimpangan sosial sehingga mengharuskan warga untuk melakukan pemberontakan. “Ideologi tidak bisa mati. Maka jalan untuk mencegah radikalisme itu adalah dengan mengadakan dialog,” kata Adhi.

Merujuk pada situasi pandemi, Adhi melihat ada peluang terjadinya penyebaran radikal di tengah wabah covid-19 yaitu karena adanya kekecewaan publik terhadap pemerintah, ketidaksiapan pemerintah dan kegagapan dalam penanganan wabah seolah menggambarkan pemerintah lambat menangani wabah covid-19.

Untuk itu, Adhi mendorong para mahasiswa dan pemuda untuk mengisi ruang publik yang saat ini justru kosong di tengah pandemi, para aktivis gerakan harus tetap menyuarakan melalui ruang publik seperti media massa, untuk mencegah peluang terjadinya penyebaran radikalisme di tengah wabah.

Sementara itu, dosen Universitas Pendidikan Ganesha, I Gusti Made Arya mengusulkan adanya semacam program studi religi. Dalam program tersebut, mahasiswa atau pelajar diajak mengunjungi tempat-tempat bersejarah agama-agama sehingga terjadi pengenalan agama lain sejak dini.

“Karena literasi keberagaman itu tidak hanya bicara soal pemahaman ajaran, tetapi juga fakta sejarah tentang bagaimana kita pernah dan akan selalu seperti itu di dalam merajut hubungan beragama,” kata I Gusti Made Arya.

I Gusti Made Arya juga mengutip ajaran agama Hindu yaitu tatwamasi (aku adalah kamu), ajaran Hindu yang mengajarkan tentang perdamian. “Tatwamasi mengajarkan agar kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita, jika kita tidak ingin disakiti maka jangan menyakiti orang lain”. Kata I Made Arya dalam paparan diskusinya.

I Made Arya meyakini bahwa jika manusia memegang ajaran tatwamasi kasus-kasus seperti bom bali dan gerakan radikalisme yang mengarah pada kekerasan dan ekstrimis menurutnya tidak akan terjadi.

Solusi lain untuk mencegah penyebaran radikal di sampaikan oleh Arya Prasetya. Ia menawarkan jalan spiritualisme sebagai cara melawan paham radikal.

Merujuk pada ajaran Budhis, Arya menyebut bahwa agama hadir untuk meningkatkan kualitas moral manusia dan membawa pesan perdamaian, sebagaimana asal katanya A yang berarti tidak dan Gama yang berarti kacau.

Arya Prasetya menambahkan bahwa upaya mencegah radikalisme di tengah Covid-19 adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam hakekat agama mellaui ajaran tri karya eka karya.

“Upaya proteksi dari radikalisme di tengah covid-19 kita harus memperkuat dan memperdalam hakikat agama, dalam beragama tidak cukup sekedar percaya, tapi harus dicerminkan dalam kegiatan beribadah atau sembahyang, mengerjakan apa yang dipercaya juga mengamalkan atau mempraktikkan dengan satu landasan yaitu penuh ketulusan,'' terang Arya.

Baginya, orang yang mendalami agama dengan baik dan benar tidak akan berbuat kekacauan di dunia ini. Karennaya ia berpandnagan bahw apraktik terorisme aksi kekerasan menurutnya lebih tepat disebut ekstremisme ketimbang radikalisme. (rls)