HARI Lingkungan Hidup Sedunia (World Environtment Day) tanggal 5 Juni 2020 mengusung tema: ''Time for Nature'', yang memiliki makna mengajak seluruh penduduk bumi untuk menyadari bahwa makanan yang dimakan, air yang diminum, dan tempat hidup di planet ini adalah sebaik-baiknya manfaat yang diberikan alam.

Alam akan memberi manfaat kebaikan apabila upaya menjaga kelestarian alam tetap dilakukan, akan tetapi akan menjadi sebuah bencana apabila kelestarian alam diabaikan.

Berbagai bencana seperti bencana banjir, tanah longsor dan asap adalah sebagian kecil dampak karena adanya pengabaian kelestarian alam. Semua ini terjadi sebagai akibat kita lupa berbakti pada bumi yang telah memberi kita ruang hidup.

Lantas apa yang harus dilakukan agar bumi tetap memberi ruang hidup kepada umat manusia? Berbicara berbakti pada bumi, tidak terlepas dari isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup menyadarkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar kita agar mampu secara berkelanjutan membawa kesejahteraan.

Isu-isu lingkungan hidup berupa pencemaran lingkungan, pemanasan global, perubahan iklim, menurunnya keanekaragaman hayati, bahkan juga menurunnya sumber daya alam adalah isu strategis yang membutuhkan perhatian secara maskimal.

Berbakti pada bumi memiliki makna kita harus bersama-sama menghijaukan bumi. Menghijaukan bumi dapat dilakukan dengan secara bersama-sama menghijaukan lingkungan sekitar, menjaga hutan serta melestarikan keanekaragaman hayati.

Bumi tempat bernaung ini memiliki hutan yang sangat luas serta merupakan harta yang tiada bernilai harganya apalagi di saat menghadapi perubahan iklim.

Hutan yang kita miliki adalah paru-paru dunia. Kondisi ini memiliki makna bahwa keberadaan hutan kita sangat berarti bagi dunia karena mampu menjaga keseimbangan iklim global.

Satu hal yang pasti, hutan yang kita miliki adalah sumber oksigen yang tiada bernilai bagi kita. Selain itu, bagi sebagian besar suku bangsa di negeri kita, hutan merupakan sumber kehidupan.

Hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 menggambarkan bahwa sekitar 2,7 ribu desa/kelurahan di indonesia berada di dalam hutan, serta 18,6 ribu desa/kelurahan berada di tepi atau berada di sekitar hutan. Bahkan hasil survei rumah tangga di sekitar hutan pada tahun 2014 yang dilakukan oleh BPS tercatat bahwa 8,6 juta lebih rumah tangga tinggal di sekitar kawasan hutan (termasuk di dalam dan di tepi hutan).

Masih banyaknya desa yang berada di tepi hutan dan bahkan berada di dalam kawasan hutan serta masih tingginya masyarakat yang tinggal di dalamnya, di satu sisi merupakan potensi yang sangat besar karena secara tidak langsung akan akan secara arif dan bijak turut menjaga hutan. Akan tetapi jika masyarakat tersebut sangat bergantung dengan hutan sebagai sumber kehidupannya apa lagi jika masyarakat melakukan kegiatan perambahan hutan sebagai efek semakin tingginya kebutuhan lahan untuk pertanian dan perkebunan, maka hutan di negeri kita lambat laun akan hilang.

Bahkan ketergantungan masyarakat desa pada hutan berakibat adanya bencana yang jutru berawal dari desa. Kondisi ini selaras dengan hasil pendataan BPS bahwa 4,4 ribu desa di Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan, 10,3 ribu desa mengalami bencana tanah longsor, bahkan lebih dari 19,7 ribu desa mengalami bencana banjir.

Kondisi hutan ini akan semakin parah jika masyarakat yang tinggal di tepi hutan maupun yang berada dalam kawasan hutan sangat bergantung dari hasil kayu hutan dalam pemenuhan kebutuhannya. Kondisi ini akan semakin kronis ketika rendahnya harga komoditas hasil pertanian maupun perkebunan yang mereka hasilkan tidak mampu menopang ekonomi rumah tangganya, sehingga kayu hutan adalah satu-satunya pilihan utama mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Memang, beberapa diantara mereka mungkin mencari kayu dengan menebang di hutan bukanlah untuk kaya, akan tetapi hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidupnya, karena beberapa diantara mereka hanya menggunakan peralatan tradisional. Oleh karenanya upaya lebih mensejahterakan masyarakat baik yang tinggal di dalam hutan maupun yang tinggal di pinggiran hutan adalah mutlak harus segera dilakukan agar mereka tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber utama pendapatan mereka.

Mari bersama berbakti pada bumi dan berbuat baik pada pepohonan agar bumi dan pepohonan memberikan manfaat berkelanjutan pada kita. Memang, menghijaukan bumi kembali agar memberi manfaat ruang kehidupan bagi penghuninya tidaklah semudah dibanding merusaknya. Dibutuhkan proses, biaya dan waktu yang lama untuk mengembalikan bumi hijau kembali.

Akan tetapi, jika semua bersama-sama berbakti pada bumi dengan berkomitmen menghijaukan bumi, maka pastilah bumi akan menghijau dan memberi manfaat ruang kehidupan yang tiada terkira bagi kita semua. Semoga. ***

Mujiono adalah statistisi di BPS Riau.