JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diproyeksi mengalami defisit sebesar Rp 28 triliun di tahun 2019. Ini bukan tahun pertama BPJS alami defisit.

Pada tahun 2018, berdasarkan data rapat Kemenkeu pada 16 November 2018, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 18.612.085,-. Pada akhir ahun 2017, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mencatat defisit DJS yang hampir 3 kali lipat. Posisi aset neto DJS Kesehatan, negatif sebesar Rp23.052,24M.

Tak sedikit upaya dilakukan untuk menangani BPJS Kesehatan. Pada Desember 2017, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, pernah mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyusun 8 langkah untuk menambal desifit keuangan BPJS Kesehatan dalam jangka pendek. Kedelapan langkah itu adalah:

1) Pemerintah telah membayarkan Peserta Bantuan Iuran (PBI) periode November dan Desember 2017 sebesar Rp 4,2 triliun.

2) Pemerintah melalui pos dana lain-lain pada APBN-P 2017 telah memberikan bantuan senilai Rp 3,6 triliun.

3) Mulai tahun 2018, dari kewajiban 10% dari APBD pemerintah daerah (Pemda) untuk fasilitas kesehatan, pemerintah pusat akan memotong langsung di awal untuk pajak rokok yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Besaran pemotongan tersebut sebesar 37,5% dari total pajak rokok daerah atau menurutnya sekitar Rp 5,1 triliun yang bisa didapat dari seluruh Indonesia.

4) Pemerintah pusat akan memotong alias intercept langsung untuk Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau.

5) Intercept juga dilakukan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) bagi Pemda yang mempunyai utang terhadap BPJS Kesehatan.

6) Kemkeu meminta Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk bisa mengupayakan efisiensi dana operasional BPJS Kesehatan.

7) BPJS Kesehatan diminta meningkatkan strategic purchasing.

8) BPJS Kesehatan harus mengupayakan mengurangi moral hazard.

Sementara itu, sejak lama BPJS Kesehatan telah memiliki setidaknya 3 sumber dana untuk menjalankan tugasnya. Ketiga sumber dana itu adalah:

1) Iuran peserta

2) Hasil investasi

3) Alokasi dana pemerintah

Pada tahun 2015, hasil investasi DJS tercatar sebesar Rp 1,8 triliun.

Berbagai soal seperti besaran iuran, keanggotaan, tata kelola, dan lain-lain, bisa menjadi sebab BPJS Kesehatan yang melulu defisit. Tak pelak, DJSN menyebut defisit ini sebagai defisit struktural yang tidak bisa diobati hanya dengan pembenahan prosedural, melainkan mesti restrukturisasi secara menyeluruh.

Penanganan defisit BPJS Kesehatan yang terkait dengan sumber dana, jika bedasarkan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial, BPJS Kesehatan memiliki 2 sumber pemasukan utama yakni Aset Dana Jaminan Sosial (termasuk iuran peserta di dalamnya) dan Aset BPJS (termasuk modal dan bantuan dari pemerintah).

Belum ada terobosan baru terkait pendanaan yang bersumber dari masyarakat, selain melalui iuran. Padahal, pembentukan BPJS Kesehatan menggunakan asas kegotongroyongan sesuai dengan poin b pertimbangan UU tersebut.

Pemerhati sosial keumatan, Abdul Aziz Hasan mengatakan, "jika saja peran serta masyarakat bisa dimaknai dengan peran zakat masyarakat muslim Indonesia, mungkin BPJS tak perlu melulu defisit,".

Hanya memang, kata Aziz, perlu penguatan terhadap Baznas selaku Lembaga Pemerintah Non Stuktural yang bertanggung jawab ke Presiden melalui Kementerian Agama dalam hal pengumpulan dan pendistribusian dana zakat nasional.

"Semodel Baznas itu kalau di ajaran Islam kan bisa juga jadi seperti baitul mal yang tentu punya fungsi sosial. Nah, Indonesia itu luar biasa lho, potensi zakat nasional kita untuk tahun 2016 aja kalau tidak salah itu Rp 217 triliun, kan bisa buat bantu BPJS. Kecil lah itu jika dibandingkan (defisit BPJS Kesehatan Vs Potensi Zakat Nasional, red)" kata lulusan Persis ini.

Aziz menandaskan, "tapi catatan ya, Baznasnya harus kuat dalam artian bisa kerja. Pemerintah juga bantu kuatkan. Soal peraturan, regulasi, apa sih yang nggak bisa? Ini kan negeri kita, apa-apa badan baru. Penerima zakat juga bukan Baznas saja. Trus defisit BPJS mau diarahkan kepada menaikkan iuran misalnya, kasian lah masyarakat kita,".***