PEKANBARU, GORIAU.COM - Konflik antara gajah dengan manusia, dalam dekade belakang ini terus terjadi. Bahkan, gajah liar itu memporak-porandakan\ pemukiman warga dan perkebunan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan. Kondisi ini diperkirakan dipicu hilangnya habitat gajah yang telah berubah menjadi perkebunan.

Demikian disampaikanya Humas World Wildlife Fund (WWF) Program Riau Syamsidar kepada wartawan, Senin (21/1/2013) dihubungi melalu seluler. Ia mengatakan, tempat habitat gajah Sumatera sejak dulu kala adalah di Provinsi Riau. Namun, habitat itu telah punah ranah. Wajar jikalau ada gajah-gajah liar mengamuk. 

"Lihat saja baru-baru ini terjadi di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Dimana sekawanan gajah lair kembali merusak kebun kelapa sawit warga. Hewan langka yang dilindungi ini berhadapan dengan warga disebab tempat (hutan) habitat diusik. Sehingga kekurangan bahan makanan," katanya.

Meringseknya kawanan gajah liar ini kepemukiman atau perkebunan warga, tidak hanya di Kelurahan Balai Raja. Tetapi pernah juga terjadi, di daerah Kelurahan Batang Pudu, Kecamatan Mandau di Kabupaten Bengkalis. Juga, pernah terjadinya konflik sama Desa Seroja, Kecamatan Kepenuhan di Kabupaten Rohul.

Syamsidar mengatakan, konflik ini tidak bisa dihindari karena wilayah kawanan gajah untuk mencari makan itu telah beralih fungsi menjadi perkebunan serta lahan konsensi atau pemukiman warga. "Konflik ini tidak bisa dihindari, disebab lintasan kantong-kantong gajah itu telah berubah fungsi," katanya

Makanya, konflik ini bukan cerita baru. Tapi mulai mencuat tambahnya, disebab ketika terjadinya eksploitasi kawasan hutan secara besar-besaran. Sehingganya saat ini, populasi gajah ditahun 1985 silam itu berjumlah 1.342 ekor tersebut turun menjadi 210 ekor ditahun 2007. Diakibat lintasan kantong itu terusik.

"Kantong-kantong lintasan gajah Sumatera inikan terus di usik. Makanya sesuai data WWF ditahun 1985 silam total gajah 1.342 ekor. Dan pada tahun 2012, data kematian gajah itu mencapai 27 ekor. Yakni di Riau sebanyak 15 ekor, di Aceh sebanyak 12 ekor," urainya.

Hewan yang nyata-nyata dilindungi ini, kata Syamsidar saat ini diprediksikan populasinya hanya sekitar 2.400 ekor yang tersebar dikantong-kantong lintasan di Pulau Sumatera. Pertambahan populasi gajah ini tambahnya, juga seiring hal ancaman perburuan terhadap gajah dilakukan oknum-oknum mengambil gadingnya.

"Dengan melihat kondisi sekarang ini, gajah Sumatera akan menghadapi ancaman serius berupa aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Kelangsunganya hidup populasi gajah ini dalam jangka panjang terancam oleh cepatnya konversi hutan," katanya.

Populasi gajah Sumatera di Propinsi Riau, katanya telah lama menjadi benteng populasinya. Pengembangan industri pulp dan kertas serta kelapa sawit adalah salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera. Pembangunan perkebunan sawit mendorong terjadi konflik manusia - satwa yang semakin hari kian memuncak.

"Jika kecenderungan ini terus berlanjut dan dua lansekap hutan luas yang kini masih tersisa. Yakni, kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), serta Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) tidak dilindungi, maka populasi gajah Sumatera tidak akan bertahan lebih lama, mengalami kepunahan lokal," katanya.

Dikesempatan itu, Syamsidar mengatakan, matinya gajah-gajah ini salah satunya disebabkan lemahnya penegakan hukum di wilayah itu. Sebab hingga kinikan para pelaku pembunuh gajah inikan tidak pernah menjalani proses hukum. Padahal WWF mencatat matinya hewan yang dilindungi ini disebabkan keserakahan manusia.

"WWF mencatat sejak tahun 2004 silam hingga saat ini, diketahui matinya hewan yang dilindungi ini disebab keserakahan manusia dengan buka perkebunan. Gajah yang terdapat dikawasan itu diburu, lalu diambil gadingnya. Tetapi, tidak ada satupan kasus yang diusut secara tuntas penyelidikan kematian," terangnya.

Walaupun ada, kata Syamsidar penyelidikan terhadap kematian gajah ini, namun disini kesannya itukan seperti main-main. Sebab, jangankan pelakunya ditindak sesuai proses hukum. Parahnya lagi, sambungnya, kasus kematian gajah di Riau hanya sebatas tanggapan saja oleh pemerintah atau aparat penegakan hukum.

Syamsidar juga menegaskan, WWF telah mengupayakan untuk memberi perlindungan terhadap gajah ini, dengan mengusulkan Provinsi Riau sebagai pusatnya konservasi gajah Sumatera melalui Permenhut No 5 tahun 2006. Hal ini disetujui Kemenhut karena merupakan langkah besar dalam upaya penyelamatan habitat gajah di Sumatera.

"Bahkan pada tahun 2004, WWF memperkenalkan Tim Patroli Gajah Flying Squad pertama di Desa Lubuk Kembang Bunga yang berada di sekitar TNTN. Tim dibentuk ini terdiri sembilan pawang dan empat gajah latih. Tujuanya untuk mengarahkan gajah-gajah liar untuk kembali ke hutan bila masuk ke pemukiman," katanya. (rdi)