JAKARTA - Pengamat Politik yang juga dosen ilmu politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago menganggap Komisi Pemilihan Umum (KPU) kecolongan dalam menetapkan daftar tetap caleg.

Hal ini diungkapkan Pangi, menanggapi adanya para pejabat daerah seperti di Kabupaten Sidrap dan Kota Parepare. Dimana sang Bupati dan Wakil Walikota aktif bisa masuk dalam DCT 2019.

"Kita ini negara hukum, semua aturan main harus sesuai trayek. Kalau caleg, ya konsekuensinya harus mundur dari jabatan baik itu Gubernur, Bupati atau Wakil Walikota," ujar Pangi kepada GoNews.co, Senin (24/9/2018) di Jakarta.

Menurut pangi, para pejabat tersebut tidak bisa sesuka hatinya. "Ngak bisa dong sesuka hati, Ini kagak ngerti hukum atau memang ngak mau pusing. Sebagai pejabat publik apalagi sebagai wakil walikota, jadi caleg sembunyi dan kagak mundur, malu maluin saja tingkahnya," tegasnya.

"Sandiaga Uno saja mundur jadi wagub ketika maju sebagai cawapres. Padahal ngak ada aturan memaksa harus mundur. Namun beliau paham fatsun politik. Jadi seperti yang terjadi di Kota Parepare, Faisal Andi Sapada haru mundur dari wakil Walikota, apabila sudah terdaftar di DCT," timpalnya.

Hal yang sama juga diungkapkan pengamat Politik IPI Jere Massei. Menurutnya, KPU kecolongan dan fatal.

"Salah fatal jika seseorang yang sudah masuk DCT terus tidak mengundurkan diri. Bagi pejabat daerah yang mencalonkan diri sebagai Caleg baik DPRD atau DPR RI, sesuai aturan yang berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang bersangkutan harus mundur sebagai kepala daerah," paparnya.

Hal ini kata dia, juga tercantum dalam Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memutuskan maju sebagai caleg harus mengundurkan diri. Begitu juga Anggota TNI dan Polri aktif, serta ASN.

"Jadi harus taat pada aturan yang ada. Jangan bermain-main dengan Undang-undang Pemilu. Ikuti saja regulasi yang ada jangan dilawan. Hal ini tentu cacat secara etika politik. Bagi saya sebelum melangkah perlu mengetahui legislasi atau undang-undang terlebih dahulu jangan ada mengelabui. Saya meminta KPU tegas dalam hal ini," tegasnya.

Kalau perlu kata dia, KPU bisa menggugurkan siapa saja yang bertentangan dengan UU. "KPU harus lebih cermat lagi melihat database calon yang ada. Biar hal ini tak terjadi lagi. Jangan gegabah," pungkasnya.

Sebelumnya, salah seorang warga Kota Parepare, Edi Idrus hari ini Senin (24/9/2018) secara resmi melaporkan Wakil Walikota Parepare Faisal Andi Sapada ke KPU Pusat.

Sebagai warga Kota Parepare, Edi Idrus mengaku kecewa dengan ditetapkanya Faisal Andi Sapada di Daftar Caleg Tetap (DCT) sebagai caleg partai NasDem pada 20 September 2018. Padahal menurut Edi Idrus, pada saat pendaftaran yang bersangkutan masih berstatus sebagai Wakil Walikota Parepare aktif.

"Selaku warga Parepare, saya merasa keberatan dengan masuknya Wakil Walikota Parepare Faisal Andi Sapada di DCT Partai Nasdem daerah pemilihan Sulsel dua dengan nomor urut 4," ujar Edi kepada GoNews.co, Senin 24/9/2018).

Masih kata Edi, dirinya merasa curiga, bahwa pengunduran diri Faisal Andi Sapada pada rapat Paripurna DPRD Kota Parepare hanya sekedar dengan membuat surat permohonan. "Seharusnya, yang menjadi dasar pemberhentian Faisal adalah surat dari Kemendagri," tandasnya.

Sementara kata dia, Surat permohonan ke Kemendagri sampai hari ini masih berada di tangan Gubernur Sulsel. "Informasi yang saya dapat surat permohonan dirinya ke Kemendagri masih sama Gubernur, jadi kalau begitu kenapa KPU bisa kecolongan dan menetapkan namanya di DCT," sesalnya.

Menurut Edi, KPU benar-benar kecolongan. Padahal dalam PKPU No 20 pasal 27 ayat 1, sudah jelas dan terang benderang. "Bagi calon yang berstatus sebagai gubernur, wakil gubernur, walikota, Wakil walikota, bupati dan wakil bupati, wajib menyampaikan permohonan berhenti satu hari sebelum penetapan DCT. Tapi ini faktanya sudah ditetapkan baru mengajukan permohonan mundur, ini pelanggaran," tegasnya. ***