JAKARTA - Wakil Ketua MPR Syariefuddin Hasan menyarankan agar Tap MPRS Nomor XXV/1966 dapat dimasukkan menjadi salah satu landasan hukum sebagai konsideran 'mengingat' di RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Jika RUU ini tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai salah satu pertimbangan, maka akan terbuka jalan bagi masuknya ideologi lain yang ingin menyusup ke dalam ideologi Pancasila.

"RUU HIP dirancang untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk itu kita bersama-sama harus menutup semua ruang bagi masuknya ideologi lain dengan satu kunci yaitu Tap MPRS No. XXV/1966 yang menyebutkan PKI sebagai ideologi terlarang di seluruh wilayah NKRI. Ini jelas, tegas, dan tidak multitafsir," kata Syarief Hasan, dalam keterangannya, Jumat (29/5/2020).

Menurut Syarief, jika hanya mengandalkan RUU HIP maka masih ada jalan dan ruang bagi ideologi lain yang dapat menyusup dalam ideologi Pancasila.

"Ini karena dalam muatannya pun RUU HIP ini banyak yang multitafsir dan tidak sesuai dengan tafsiran Pancasila yang selama ini dipahami," ungkapnya.

Syarief memberi contoh, seperti prinsip dasar yang disebutkan dalam Pasal 3 RUU HIP. Di mana tidak dicantumkannya prinsip dasar Pancasila secara utuh, bahkan memotong-motong prinsip dasar yang tertuang di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

"Ketika prinsip dasar ini tidak dituliskan secara utuh maka akan membuka keran interpretasi lain. Bahkan membuka keran bagi masuknya ideologi lain yang menyusup dalam interpretasi Pancasila," ungkap Syarief.

"Misalnya, prinsip dasar pertama. Kalau dalam Pembukaan UUD 1945 bunyinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, semua manusia di Indonesia wajib percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi ketika bunyinya hanya "Ketuhanan" saja seperti yang tercantum dalam RUU HIP, maka akan membuka ruang bagi munculnya interpretasi baru tentang politeisme bahkan ateisme yang jelas-jelas tidak sesuai dengan ideologi Pancasila," imbuhnya.

Syarief juga memberikan contoh lain seperti Prinsip Pancasila yang ketiga yaitu Persatuan Indonesia, yang bermakna bahwa negara ini mengakomodir semua perbedaan dan mempersatukannya dalam bingkai yang sama bernama Indonesia. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga.

"Tetapi di dalam RUU HIP disebutkan prinsip ketiga adalah Kesatuan yang memiliki makna berbeda dengan Persatuan Indonesia. Kesatuan diinterpretasikan sebagai penyamarataan seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, orang Indonesia berbeda-beda satu sama lain. Prinsip ini mirip dengan prinsip ideologi sosialisme yang menyamaratakan dan menghilangkan warna-warna seluruh warganya," jelas Syarief.

Syarief pun mengusulkan sebelum pembahasan lebih lanjut di Baleg DPR RI, sebaiknya MPR RI ikut melakukan kajian yang mendalam tentang RUU HIP ini demi kepentingan bangsa Indonesia ke depan.***