JAKARTA - Wakil Ketua MPR Syariefuddin Hasan menegaskan bahwa muatan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) harus diperbaiki secara hati-hati, teliti, dan cermat. Tidak boleh ada ruang sedikit pun masuknya ideologi terlarang komunis.

Untuk itu Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 harus dimasukkan ke dalam RUU HIP untuk menghadirkan kepastian hukum bahwa tidak ada ruang bagi ideologi terlarang untuk masuk dan menyusup dalam nilai-nilai Pancasila.

"Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 harus dimasukkan sebagai salah satu landasan hukum pada konsideran ‘mengingat’ dalam RUU HIP. Hal ini perlu untuk menghadirkan kepastian hukum bahwa Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara yang tidak boleh disusupi ideologi lain terutama ideologi terlarang,” kata Syarief Hasan dalam keterangannya, Senin (1/6/2020).

Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 adalah tentang 'Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme'. Tap MPRS ini masih berlaku hingga saat ini.

Syarief Hasan menjelaskan, dalam pembuatan suatu aturan tata kelola negara harus mengedepankan prinsip kepastian hukum. Secara normatif makna kepastian hukum adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti, jelas, dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keraguan atau pun multitafsir. Sedangkan logis dalam arti hadir sebagai sistem norma yang tidak berbenturan dengan norma lain dan tidak menimbulkan konflik norma. Konflik norma akibat ketidakpastian hukum dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.

Syarief Hasan melihat muatan dalam RUU HIP dipandang secara hukum menimbulkan keraguan, multitafsir, dan tidak jelas sehingga tidak ada kepastian hukum di dalamnya. Dia memberi contoh istilah Trisila dan Ekasila sebagai ciri Pancasila memunculkan multitafsir tentang ideologi Pancasila. "Sebab, Trisila hanya mencantumkan tiga nilai dan Ekasila hanya mencantumkan satu nilai yakni gotong royong. Sehingga pada akhirnya mengaburkan atau mengabaikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai lainnya. Tidak adanya penyebutan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa juga akan berpotensi memudahkan masuknya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila," paparnya.

Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat ini juga melihat dari sudut pandang hukum, RUU HIP juga berpotensi menimbulkan konflik norma dan pertentangan dengan norma yang ada sebelumnya. Misalnya, dalam Pasal 3 RUU HIP disebutkan bahwa prinsip dasar Pancasila adalah 1) ketuhanan, 2) kemanusiaan, 3) kesatuan, 4) musyawarah/demokrasi, 5) keadilan sosial.

"Prinsip ini jelas berbeda jauh redaksi dan pemaknaannya dengan prinsip dasar Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat, sehingga dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan reduksi dan distorsi pada nilai Pancasila," jelasnya.

Syarief Hasan menambahkan dalam pembacaan Putusan MK dengan Nomor 59/PUU-XIII/2015 disebutkan bahwa yang tunduk pada ketentuan tentang perubahan Undang-Undang Dasar adalah hanya pasal-pasal UUD, tidak termbauk Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pancasila adalah bagian tidak terpisahkan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 maka dengan sendirinya tidak terdapat ruang untuk secara konstitusional mengubah Pancasila sebagai dasar negara. “Adanya perubahan atau perbedaan yang sangat jauh dalam Pasal 3 ayat 1 RUU HIP telah bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” tegas Syarief Hasan.

Untuk itu Syarief Hasan berharap muatan dalam RUU HIP harus diperbaiki secara hati-hati, teliti dan cermat. "Kita semua telah sepakat bahwa tidak boleh ada ruang sedikit pun masuknya ideologi terlarang PKI. Karena itu Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 harus dimasukkan ke dalam RUU HIP untuk menghadirkan kepastian hukum bahwa tidak ada ruang bagi ideologi terlarang PKI untuk masuk dan menyusup dalam nilai-nilai Pancasila," pungkasnya.***