JAKARTA - Pengamat dan Peneliti Politik dari Etos Indonesia Institute, Iskandarsyah tampak agak geram dengan pernyataan Ketum PSI, Grace Natalie yang menyebut soal "Nasionalis Gadungan".

"Itu siapa itu? Kita nggak kenal. Kalo perlu ayo duduk satu meja dengan saya," kata Iskandarsyah di Jakarta, Jumat (15/02/2019).

Iskandarsyah yang mengaku menjadi aktivis politik sejak di bangku kuliah, justru mempertanyakan kapasitas Grace ketika bicara soal "Nasionalisme Gadungan".

"Kita gak ada yang kenal. Dia pernah gak dipukuli anggota?" tukasnya merujuk pada aktivitas demo para pejuang demokrasi di era lampau.

"Itu PSI kan baru-baru aja muncul di era Ahok. Mereka ini siapa?" tegas Ardiansya yang menjabat Direktur Eksekutif di Etos Indonesia Institute itu.

Sebelumnya, Ketum PSI, Grace Natalie menyebut "Nasionalis Gadungan" dalam pidatonya, Senin (11/02/2019). Hal ini, menuai respon dari Partai Demokrat dan PDIP. Berlanjut, politisi PSI, Guntur Romli, menanggapi reaksi yang muncul terhadap pidato Sang Ketum.

Mengutip berita berjudul "PSI soal Nasionalis Gadungan: Kalau PD Bereaksi, Mungkin Tersindir", Guntur mengangkat ihwal persekusi keagamaan sebagai bagian dari penjelasannya soal Nasionalis Gadungan.

Persekusi Keagamaan, kata Guntur, paling besar terjadi di pemerintahan SBY yang kini ada di kubu Prabowo-Sandi. Ia kemudian nengutip data Amnesty Internasional hingga pada suatu kesimpulan bahwa persekusi keagamaan dengan UU Penodaan Agama di era SBY, lebih banyak dari masa Orde Baru (orba).

"Data Amnesty Internasional 10 tahun masa SBY ada 106 orang yang dijerat UU Penodaan Agama. Bahkan pada masa orba saja hanya 10 orang. Intoleransi dan radikalisme saat ini meningkat karena pemerintahan SBY memberikan angin.

Jokowi hanya kena getahnya saja. Apalagi kelompok-kelompok intoleran dan radikal kini bergabung dengan Koalisi Prabowo dan Sandiaga yang ikut menyerang Jokowi," tutur Guntur.

Pernyataan Guntur pun ditanggapi oleh politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW). Hidayat menilai, pernyataan "radikal" seperti itu, mesti ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian karena berpotensi menimbulkan distorsi di tengah masyarakat.

"Karena ini membelah masyarakat, ini menakut-nakuti masyarakat, ini genderuwo," kata Hidayat di kompleks Parlemen, Kamis (14/02/2019).***