JAKARTA - Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kian mendekati harinya. Politik Identitas nampak gencar di permukaan guna memboyong ke dalam kardus, suara-suara rakyat.

Di kubu petahana, Paslon Capres-Cawapres nomor urut 01, Jokowi-Maruf Amin, nampak penggunaan identitas ideologi, suku dan agama dalam mendekatkan diri dengan neraca timbang pemilih.

Pun di kubu penantang, identitas Ideologi, Agama dan Profesi, juga menjadi bagian dari citra yang ditampilkan Paslon Capres-Cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi.

Seperti pada situasi saling curhat antara Prabowo dan Jokowi dalam gelaran Debat Keempat Pilpres 2019, Sabtu (30/03/2019) lalu; saat Prabowo mengisahkan tuduhan pro khilafah atas dirinya dan Jokowi yang mengisahkan tudingan PKI atas dirinya. Ujungnya, sama-sama saling puji; Pancasilais.

"Yang paling penting marilah kita bersama-sama membumikan Pancasila," imbau Jokowi usai memuji.

Momentum "Curhat" di segmen pertanyaan soal ideologi itu, digunakan Prabowo untuk membumikan Identitas keagamaannya.

"Ibu saya seorang Nasrani. Saya lahir dari rahim seorang Nasrani," kata Prabowo-yang muslim-menyebut satu agama yang selama ini tak tegas kentara sebagai bagian dari pendukung militannya untuk nyapres.

Di Cawapresnya, Identitas Ideologi lebih kentara lagi menjadi materi kampanye. Skala penggunaan terendah ada di Cawapres paslon nomor urut 02, Sandiaga Uno yang tampak lebih sering mengunakan peci khas melayu di masa-masa kampanyenya. Sebelumnya, Ia lebih dikenal sebagai sosok yang enerjik dan casual.

Cawapres kubu petahana, Maruf Amin, lebih getol gunakan identitas keulamaannya dalam kampanye. Klaim memiliki trah pesohor di entitas agama pun tak sekali Ia lontarkan.

"Sekarang yang jadi Cawapres (Saya, red) adalah Sunda yang Ulama. Mau dukung saya tidak? Siap apa tidak?" tanya Ma'ruf kepada para pendukungnya di Garut, Jawa Barat pada Kamis (04/04/2019).

Di momen kampanye sebelumnya-di Bangkalan, Madura pada Jumat (19/10/2018), Maruf mengatakan, "Saya keturunan Madura dari Kiai Demang Plakaran, Arosbaya, Bangkalan. Beliau mempunyai anak bernama Raden Kiai Pragalba. Lalu cucu beliau yang di Pamekasan kemudian diperistri Raja Sumedang Larang yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Harisbaya yang diambil dari Arosbaya. Dari sana kemudian lahir mbah-mbah saya,".

Lebih jauh lagi, nama Maruf juga dikaitkan dengan Syekh Nawawi Al Bantani, seorang Ulama nasional abad ke 14 Hijriah asal Tanara, Banten yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram. Meskipun, ada juga counter claim soal ini.

Pernyataan-pernyataan Maruf, bukan hanya soal Identitas keagamaan, tapi juga Identitas Kesukuan sebagai perekat rasa kedaerahan.

Politik Identitas lain yang nampak dalam Pilpres 2019, adalah Identitas Profesional. Ini yang lebih jadi jualan penantang, baik Prabowo, maupun Sandiaga Uno. Dan lebih jelas tak kental menyoal; Pancasila yang sudah jadi kesepakatan bernegara; serta Agama dan Suku yang kontra konsensus Kebhinekaan.

Seperti ketika Prabowo yang memang eks. Danjen Kopassus itu mengklaim, "Saya lebih TNI dari banyak TNI,". Demikian Parbowo mendekatkan patriotisme pada pemilihnya.

Atau Identitas Profesi Pebisnis yang selalu nampak dari Sandiaga Uno, yang melulu bicara soal; solusi pengendalian harga bahan pokok; memenuhi kebutuhan kerja dan wirausaha dengan program nyata OK OCE dan Rumah Siap Kerja. Meskipun, tak kurang cibiran atas keberhasilan program tersebut dan fakta merapatnya pengusaha-pengusaha besar ke kubu lawan.

Sebelumnya, Politik Identitas sempat menjadi momok yang seolah dipertentangkan. Di pembuka bulan Pemilu serentak 2019, Mantan Ketua MK yang juga bagian dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mahfud MD, sempat mengungkap kekhawatiran Politik Identitas sebagai pemicu perpecahan Bangsa.

"Kelompok menyerang kelompok lain, tapi sama-sama mengklaim sebagai penjaga identitas primordial yang sama," kata Mahfud saat berbicara di acara Sarasehan Kebangsaan, Padang, Sumatera Barat, Selasa (02/04/2019).

Secara sederhana, Politik identitas biasa dimaknai, politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektifitas suatu entitas.***