JAKARTA - Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mantan Kadiv Propam itu diputuskan melakukan pembunuhan berencana terhadap Novriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Putusan hukuman mati itu lantas kembali membuat warganet memviralkan pendapat praktisi hukum, Hotman Paris Hutapea tentang Pasal 100 KUHP yang baru tentang Hukuman Mati.

Dalam video tersebut, Hotman mengaku bingung dengan dalil hukum yang dibuat dalam pasal tersebut. Pasalnya, terpidana hukuman mati tidak langsung dieksekusi, malah ada celah untuk lolos dari hukuman.

"Setiap pasal di KUHP Pidana yang baru ini gue pusing, nalar pidananya gimana, bagaimana orang-orang yang buat undang-undang ini,” ucap Hotman mengawali videonya, dikutip Kamis (16/2/2023).

Adapun Pasal 100 Ayat (1) menyatakan hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun, dengan mempertimbangkan tiga hal, yakni rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, peran terdakwa dalam tindak pidana, atau alasan yang meringankan.

"Pasal 100, seseorang yang dihukum mati nggak bisa langsung dihukum mati, kesempatan 10 tahun apakah berubah kelakuan baik, yaah nanti bakal mahal deh surat keterangan kelakuan baik oleh kepala lapas penjara, daripada dihukum mati orang bisa mempertaruhkan apapun, berapapun untuk mendapatkan surat kelakuan baik dari kalapas penjara,” ucap Hotman.

Menurut Hotman, apa artinya vonis hukuman mati jika tak bisa langsung eksekusi. Apalagi, hal itu membuka celah bagi terpidana untuk melakukan apapun demi mendapatkan surat keterangan kelakuan baik.

“Di penjara yang menentukan berkelakuan baik itu kalapas, ini jadi surat mahal, mahal harganya di dunia, orang akan mempertaruhkan apapun. Dalam waktu dekat ada rencana lamar jadi kalapas penjara, sama juga remisi koruptor, kalau sudah 2/3 masa tahanan sudah bisa keluar kalau ada kelakuan baik. Ini (kalapas) menjadi jabatan sangat prestisius dan bergengsi,” ucap Hotman menyindir.

Menutup videonya, Hotman menduga yang membuat UU KUHP yang baru bukanlah praktisi hukum, namun profesor atau dosen.

Dia pun meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut UU yang disahkan pada 6 Desember 2022 itu.***