JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pegawai negeri sipil (PNS) kembali dikritik.

Sebab, tenaga honorer tidak mendapatkan THR yang notabennya juga bekerja untuk pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Didi Supriyadi mengatakan, jangankan untuk mendapatkan THR seperti PNS, status para tenaga honorer selama ini saja tidak jelas dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

"Jangankan THR, status saja tidak diakui oleh pemerintah. Bagaimana mau mendapatkan THR? Tidak ada THR untuk honorer. Status saja tidak ada. Kalau dapat THR paling urunan (sumbangan) dari teman-teman sejawatnya. Kalau tidak, ya siapa yang mau ngasih," ujar dia diJakarta, Rabu (23/5).

Padahal menurut Didi, beban kerja yang harus dipikul oleh para tenaga kerja honorer ini sama dengan para PNS. Namun sayang, nasib yang diterimanya jauh berbeda dengan para abdi negara tersebut.

"Beban kerjanya sama, kalau tidak masuk tetap ditegur. Hanya (terima) gaji, itu pun kalau ada. Kadang tiga bulan belum keluar. Ini pemerintah zalim. Ini ASN kerja di luar pemerintahan dilarang, sekarang ada orang di luar ASN kerja di dalam pemerintah dibiarkan dan tidak diberikan THR, tidak diberikan gaji, tidak diberikan status," jelas dia.

Didi juga menyatakan, saat ini jumlah tenaga honorer tidak bisa dibilang sedikit. Untuk profesi guru misalnya, sekitar 1,2 juta guru di Indonesia merupakan tenaga honorer.

"Sekarang untuk jumlah guru di seluruh Indonesia ada 4 jutaan. Yang merupakan PNS itu 2,2 juta, berarti 1,8 juta ini non-PNS. Dari jumlah itu, 600 ribu orang guru tetap di swasta, berarti 1,2 juta yang honorer. Itu 800 ribu ada di sekolah negeri dan 600 ribu di madrasah. Belum lagi yang profesi lain, rata-rata 20 persennya itu honorer," tutupnya.***