JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyelidiki dan melakukan evaluasi ulang secara mendalam terkait perizinan yang dimiliki PT. Bintan Alumina Indonesia (PT BAI). Ia menduga PT. BAI telah menyalahi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diperoleh dari KLHK.

Bahkan, menurut Anggota Panja Limbah dan Lingkungan Hidup Komisi VII DPR RI itu, PT. BAI melakukan berbagai pelanggaran dalam pembangunan smelter, diantaranya mengubah peta kawasan, pembabatan hutan bakau, pembakaran hutan hingga meratakan bukit yang sebelumnya ada di Pulau Bintan, Kabupaten Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

"Saya meminta untuk ambil semua dokumen dan nanti kita evaluasi. Apakah di Amdal tertulis dengan jelas peruntukannya? Kemudian apa ada izin untuk mengubah peta kawasan dan izin pembabatan hutan mangrove? Kalau tidak, jelas potensi kesalahannya sangat besar," tegas Mukhtar saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Panja Limbah dan Lingkungan Hidup Komisi VII DPR RI meninjau PT. BAI di Pulau Bintan, Batam, Kepri, Kamis (25/10/2018).

Legislator Partai Hanura itu berpendapat bahwa pembangunan smelter oleh PT. BAI hanyalah sebuah kedok usaha yang disamarkan, karena dalam pelaksanaan pembangunan smelter, banyak sekali hal yang tidak sesuai dengan perizinan sebagai perusahaan smelter.

Pembangunan smelter ini dinilai sebagai alasan yang digunakan agar perusahaan dapat menggunakan lahan negara seluas-luasnya dengan menggunakan izin pinjam kawasan hutan.

"Nah ini kalau dia berkedok usaha seperti ini, maka semestinya KLHK atas pengawasan Komisi VII DPR harus mempertimbangkan ulang IPPKH yg keluar lima atau enam tahun yang lalu. Kalau tidak sesuai peruntukan kawasannya, maka perusahaan itu harusnya ditutup. Apalagi kalau misalnya dia berpotensi sesuai dengan laporan masyarakat yaitu menambah luas area lahan yang telah ditetapkan oleh IPPKH," terang Mukhtar. 

Mukhtar memberikan rincian regulasi yang dilanggar oleh PT. BAI, diantaranya UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertanahan Negara, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2015 dan PP Nomor 3 Tahun 2008.

Legislator dapil Sulawesi Selatan I ini mendesak KLHK untuk memeriksa dokumen perizinan PT. BAI dan fakta yang ada di lapangan. Menurutnya penyalahgunaan prosedur legalitas yang dilakukan oleh PT. BAI sudah mengancam kedaulatan NKRI, sehingga pemerintah didesak untuk bertindak tegas jika pelanggaran tersebut benar-benar terbukti.

"Mereka sudah menguasai lokasi dengan membangun kawasan strategis yang berbatasan dekat dengan Singapura. Setelah gunung diratakan, hutan dia babat dan fungsi ekologis berubah, tiba-tiba memohon-mohon kepada pemerintah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Ini adalah bentuk penjajahan yang sangat riil di Indonesia," tegas Mukhtar.

Ia menegaskan, izin IPPKH yang dapat PT. BAI untuk menggunakan lahan sekitar dua ribu hektar lebih, tidak sesuai dengan peruntukannya dan juga masa waktunya sebagai bentuk komitmen atas rencana pembangunan usaha.

Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk menghentikan pembangun smelter, mencabut IPPKH-nya, dan memberikan denda sebesar-besarnya kepada PT. BAI, serta meminta perusahaan tersebut untuk mengembalikan fungsi kawasan sebagaimana kondisi awal kawasan tersebut. ***