JAKARTA - Tak terasa sudah 29 tahun, Timnas Indonesia tanpa medali emas pada ajang SEA Games. Padahal, PSSI yang dipimpin Mochamad Iriawan yang akrab disapa Iwan Bule sempat menargetkan mengulang sukses meraih medali emas yang pernah terjadi pada SEA Games Manila 1991. Namun, target itu tidak mampu diwujudkan tatkala hanya perak yang diraih pada SEA Games Manila 2019.

Kegagalan ini harusnya menjadi pelajaran berharga bagi Iwan Bule. Apalagi, Indonesia punya keinginan menjadi tuan rumah Piala Dunia U 20 tahun 2021. Bahkan, PSSI pun sudah mendapatkan perlakuan istimewa dengan turunnya Peraturan Prestasi (Perpres) tentang Percepatan Prestasi Sepakbola Nasional (PPSN).

Boleh dibilang tugas Iwan Bule dalam menjalankan pembinaan lebih ringan dibandingkan ketua umum PSSI sebelumnya. Praktis dengan keberadaan Perpres PPSN itu, PSSI tidak akan mengalami kekurangan dana dalam menjalankan program pembinaan.

Tak ada salah juga jika ada yang menyebut pria kelahiran Jakarta, 31 Maret 1962 ini mendapatkan poin plus-plus dibawa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Selain mendapat dukungan dana pembinaan dari pemerintah lewat PPSN, PSSI bisa mendapatkan dana dari sponsor lewat kompetisi atau menggelar event internasional.

"Posisi PSSI saat ini benar-benar jadi anak emas. Tercatat sebagai satu-satunya induk organisasi yang mengantongi Perpres PPSN. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak berprestasi," kata mantan Sekjen Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Hifni Hasan yang ditemui beberapa waktu lalu.

Memang tidak mudah untuk bisa menghasilkan prestasi sepakbola Indonesia sesuai harapan masayarakat Indonesia. Di sinilah diuji keberanian Iwan Bule untuk melakukan revolusi sepakbola Indonesia. Kesalahan yang dilakukan pengurus PSSI terdahulu tak perlu diulangi. Seperti adanya rangkap jabatan pengurus PSSI dan operator kompetisi yang selama ini dipegang PT Liga Indonesia Baru (PT LIB).

"Iwan Bule harusnya berani mengulimatum pengurus PSSI dan Exco untuk menjatuhkan pilihan mau jadi direksi PT LIB atau tepat berada di jajaran PSSI. Kalau ini terjadi berarti beliau sudah membuat PSSI lebih profesional dan transparan," jelasnya.

Dengan adanya ultimatum itu, kata Hifni, PT LIB bisa menjalankan usaha sebagai operator Liga 1 dan 2 secara profesional, mandiri dan independen. "Selama ini klub peserta kompetisi tidak bisa menuntut subsidi dana dari PT LIB tetap waktu karena keberadadan pengurus PSSI di dalam PT LIB. Bahkan, klub hanya bisa pasrah subisidi tidak turun meski kompetisi sudah berakhir apalagi jika operator mengalami kerugian. Padahal, PT LIB itu adalah perusahaan yang diwajibkan memberikan keuntungan finansial bagi PSSI," tandasnya.

Yang patut dicatat lagi, kata Hifni, tidak adanya rangkap jabatan itu semakin lengkap saja tatkala PSSI melepas saham terbesar di PT LIB. "Pelepasan saham PSSI ini bukan hanya membuka peluang bagi operator lain untuk bisa bersaing mendapatkan hak memutar kompetisi tetapi menghapus hak monopoli yang selama ini terjadi. Dengan terciptanya kompetisi antar operator itu akan memperbesar PSSI untuk mendapatkan dana dalam menjalankan roda kompetisi dan pembinaan sepakbola Indonesia," ungkapnya. ***