JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, mengusulkan pembentukan Dewan Penyadapan sebagai lembaga independen yang bertanggungjawab soal penyadapan di Indonesia.

Fahri, menyatakan hal itu ketika ditanya terkait siapa penanggungjawab atas materi atau data penyadapan yang di luar kebutuhan penyadapan itu sendiri.

"Ya itu kalau saya itu, harus ada dewan ya. Di mana-mana di negara maju itu, dikoordinasikan melalui Dewan Penyadapan," kata Fahri kepada GoNews.co di Kompleks Parlemen, Selasa (9/8/2019).

Dewan Penyadapan, kata Fahri, nantinya bertindak sebagai pihak yang memutuskan, "yang disadap yang mana, yang tidak disadap yang mana,".

"Dari yang disadap itu mana yang bisa dijadikan contoh dan boleh dibawa untuk dimintai izin di ruang sidang," kata Fahri.

Saat ini di Indonesia, penyadapan disebut masih berlangsung melebihi batas informasi yang dibutuhkan.

"Sekarang ini, yang disadap A sampai Z. Sebenarnya kasusnya itu 'P' misalnya, tapi karena disadap A sampai Z, ketemu barang baru, dia bilang itu pengembangan," kata Fahri.

Fahri berujar, jika metode kerja penyadapan masih seperti itu (dari pagi sampai malam), maka siapapun akan ditemui kasusnya. "Termasuk orang KPK juga kalau disadap ya ketemu juga,".

Karenanya kata Fahri, jika RUU Penyadapan yang saat ini tengah ada di DPR memuat urgensi Dewan Penyadapan, maka Dewan Penyadapan bisa dibuat sebagai lembaga independen.

"Kemudian, semua lembaga yang melakukan penyadapan, berkoordinasi dengan lembaga itu. Sehingga nanti dia (Dewan Penyadapan, red) yang mengetahui, dia yang mengaudit," kata Fahri.

Fahri mengatakan, negara bisa menggunakan lembaga-lembaga yang ada untuk mewujudkan Dewan Penyadapan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Kominfo, termasuk yang disebut Fahri.

"BPK itu punya kemampuan audit. Bisa juga kalau dia dikasih tugas itu. Tapi kalau kita mau bikin khusus, itu juga bisa. Kemudian kita punya Kementerian Kominfo, bisa juga menjadi penganggungjawab. Dan lembaga-lembaga lain yang tugasnya mengkalibrasi sistem komunikasi kita ini supaya nggak bocor ke negara lain," papar Fahri.

Sekarang ini, kata Fahri, teknologi penyadapan sudah generasi ke-5 atau mungkin ke-6. Sehingga dibutuhkan kemampuan untuk mengamankan keamanan nasional agar Indonesia tidak disadap pihak asing, atau terjadi saling sadap di internal Indonesia.

Generasi teknologi penyadapan dimaksud Fahri, dimulai dari penyadapan dengan menempelkan kabel di era lawas hingga, "muncul GSM, disadap pakai menara. (Dan, red) sekarang ini orang sudah pakai aplikasi, pakai satelit,".

"Lihat! Itu sekarang ramai Rusia menyadap Amerika, Amerika menyadap Rusia. Rusia mengintervensi Pemilu di Amerika Serikat kan? (Atau, red) Dianggap mengintervensi pemilu dimana-mana melalui mekanisme digital ini. Nah, kita sendiri punya daya tahan nggak?" kata Fahri.

Diharapkan, semua penyelenggara daya tahan sistem siber Indonesia bisa lebih bertanggungjawab atas data-data elektronik milik Indonesia.

Secara regulasi, Indonesia sudah memiliki UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dan akan melahirkan UU soal Ketahanan Siber.

"Nah, ini sekarang semuanya di tangan Presiden, Presiden lah yang harus membentuk sistem koordinasinya. Apakah semuanya mau bertanggujawab kepada Presiden? Silahkan, nggak ada masalah," kata Fahri.

Yang terpenting, tegas Fahri, "jangan biarkan orang, dengan aplikasi yang dia punya, melakukan penyadapan masing-masing,".

"Nanti semua orang saling sadap. Sekarang yang saya dengar antar lembaga juga saling sadap," pungkasnya.***