JAKARTA - Lembaga Peneliti Fakultas Hukum beberapa Perguruan Tinggi Negeri merilis pernyataan sikap yang tergabung dalam "Lembaga Peneliti Hukum Indonesia" mengkritisi prosedur Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rilis yang telah disebarluaskan tersebut berjudul "LHKPN dan Cacat Prosedur Calon Pimpinan KPK".

Dalam rilis itu, narasumber yang dihubungi atas nama Hemi Lavour Frbrianandez selaku Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH. Univ. Andalas memberikan penilaian bahwa rangkaian seleksi administrasi, uji kompetensi, hingga tes psikologi untuk mendapatkan capim KPK, telah muncul permasalahan mendasar.

Lanjut Hemi, beberapa persyaratan admnisitratif yang wajib dipenuhi, tidak dipenuhi oleh para Capim KPK yang lolos hingga tes psikologi, sehingga muncul kekhawatiran akan terjadinya cacat prosedural dalam seleksi Capim KPK, karena kelalaian atau kealpaan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK.

Akan tetapi kritikan tersebut langsung ditanggapi mantan Komisioner Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) masa Preside Megawati Soekarno Putri, Petrus Selestinus.

Menurut Petrus, penilaian dan masukan dari PUSaKO dan kawan-kawan dimaksud mengandung muatan yang berpotensi menyesatkan publik. Riakan tersebut juga kata Petrus bertujuan untuk melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap PANSEL CAPIM KPK dan CAPIM KPK itu sendiri.

Khususnya kata Petrus pada persoalan kredibilitas dan legitimasi PANSEL CAPIM KPK, akibat tafsir sesat PUSaKO terhadap substansi pasal 29 huruf k UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

"Penilaian dan masukan yang bersumber dari tafsir sesat dan diformulasikan dalam pernyataan sikap yang menyesatkan itu, selain disampaikan kepada PANSEL CAPIM KPK, juga kepada publik bahkan mencoba mendestruksi kredibilitas dan legitimasi PANSEL CAPIM KPK dan para Capim KPK itu sendiri," ujar Petrus kepada wartawan di Jakarta, Minggu (4/8/2019).

Petrus yang tergabung dalam wadah Forum Lintas Hukum (FLH) mengatakan, pihaknya sangat berkepentingan untuk memberikan klarifikasi dan pelurusan agar publik tidak tersesat dalam melihat kinerja PANSEL CAPIM KPK dan para peserta CAPIM KPK yang saat ini tengah berlangsung menuju seleksi tahap akhir.

Dikatakan Petrus, PUSaKO telah berpandangan bahwa meskipun para Capim KPK bukan Penyelenggara Negara, namun harus tetap melaporkan harta kekayaannya kepada KPK berdasarkan ketenuan pasal 29 UU KPK oleh karena ketentuan pasal 29 UU KPK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dalam hal seleksi pimpinan yang mengenyampingkan ketentuan pasal 23 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dai KKN sebagai aturan umum (lex generalis), yang mewajibkan setiap Penyelenggara Negara melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.

"Pandangan Lembaga Peneliti PUSaKO ini, jelas sebagai sebuah kekeliruan atau kesengajaan yang bersifat sesat untuk mendiskresditkan Pansel Capim KPK dan Para Calon Pimpinan KPK itu sendiri, oleh karena ketentuan pasal 29 huruf k UU KPK," katanya.

Dikatakan Petrus, Undang-undang yang berlaku yang mengatur tentang Penyelenggaran Negara dan kewajiban mengumumkan kekayaan bagi setiap Penyelenggara Negara itu adalah UU No. 28 Tahun 1999 khususnya pada pasal 2 dan pasal 5 angka 2 dan angka 3, pasal 20 dan pasal 23 yang menyebutkan sbb.

Pasal 2 kata Petrus, menyebutkan Penyelenggara Negara meliputi Peabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat Negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5 kata Petrus, setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk angka 2 : bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; dan angka 3 : melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum, selama dan setelah menjabat.

Sementara Pasal 20 ayat (1) UU No. 28 Tahun 1999 kata Petrus menegaskan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 atau 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Pasal 23 UU No. 28 Tahun 1999, menyatakan bahwa dalam waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini mulai berlaku setiap Penyelenggara Negara harus melaporkan kekayaannya dan bersedia dilakukan pemeriksaan kekayaannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini," katanya.

Petrus pun menegaskan, berdasarkan ketentun pasal 2, pasal 5, pasal 20 dan pasal 23 UU No. 28 Tahun 1999 di atas, maka Capim KPK tidak atau belum termasuk dalam kualifikasi Penyelenggara Negara dan oleh karena itu ketentuan pasal 29 UU KPK tidak dapat ditafsirkan sebagai mewajibkan para Capim KPK untuk melaporkan harta kekayaannya.

Pasalnya kata Petrus, Para CAPIM KPK itu belum menjadi Penyelenggara Negara untuk jabatan Pimpinan KPK. Ketika para Capim KPK ini terpilih dan ditetapkan sebagai calon terpilih, maka sebelum dilantik sebagai Pimpinan KPK maka 5 (lima) orang pimpinan KPK terpilih wajib menyerahkan LHKPN kepada KPK untuk diperiksa dan diumumkan sesuai UU.

Menurut Petrus, meskipun PUSaKO dalam penilaian dan masukannya merujuk pada ketentuan pasal 29 huruf k UU KPK, namun PUSaKO telah membuat tafsir yang sesat terhadap ketentuan pasal 29 UU KPK. Padahal ketentuan pasal 29 huruf a s/d. huruf k mengatur tentang syarat-syarat untuk "dapat" diangkat sebagai pimpinan KPK.

"Ada syarat yang pemenuhannya harus dilakukan pada saat mendaftar sebagai Capim KPK dan ada syarat yang pemenuhannya baru dilakukan setelah Capim KPK yang bersangkutan dinyatakan terpilih secara definitif sebagai Pimpinan KPK, seperti persyaratan "mengumumkan kekayaannya" (Capim KPK telah membuat pernyataan bersedia mengumumkan dan diperiksa harta kekayaannya jika terpilih)," katanya.

Lanjut Petrus, syarat adanya "Surat Pernyataan" bersedia mengumumkan Harta Kekayaan jika terpilih sebagai Pimpinan KPK, karena persoalan kewajiban "mengumumkan kekayaan kepada publik melalui KPK" itu hanya berlaku bagi mereka yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara dan menjadi salah satu kewajiban Penyelenggara Negara sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku yaitu pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999.

Khusus soal syarat sosiologis kata Petrus biarlah menjadi bagian dari peran partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan kepada Pansel Capim KPK oleh karena pengetahuan tentang harta kekayaan Capim KPK dan tabiat atau perilaku Capim KPK di tengah masyarakat sepenuhnya ada di tangan masyarakat dan silahkan masyarakat memberikan informasi baik kepada Pansel Capim KPK maupun kepada DPR.

Dengan demikian kata Petrus, persoalan pengumuman Harta Kekayaan Penyelenggara Negara bukan merupakan kewajiban para Capim KPK dan bukan pula berada pada kewenangan Pansel Capim KPK untuk memeriksa dan menentukannya melainkan itu menjadi domain KPK terhadap seorang Penyelenggara Negara.

"Kekhawatiran pihak PUSaKO akan terjadinya cacat prosedur dalam seleksi Capim KPK, jelas merupakan suatu kekhawatiran yang berlebihan, mubazir dan mau menggurui Pansel Capim KPK yang telah bekerja sesuai dengan standar, norma, kriteria dan prosedur sesuai dengan ketentuan pasal 30 UU KPK dan SOP PANSEL CAPIM KPK," tukasnya.***