RENGAT - Sekelompok anak-anak sedang berjalan menapaki jalan setapak di dalam hutan. Setiap anak menyandang tas di punggung dan ada juga yang dilengkapi dengan tempat minum. Mereka sama sekali tidak memakai sepatu, hanya beberapa orang memakai sendal jepit.

Perjalanan terus berlanjut, hingga sampailah di sebuah sungai. Mereka harus menyeberang. Kebetulan saat itu sungai sedang surut. Mereka langsung menceburkan diri dan jelas celananya basah. Sebab, ketinggian air mencapai pinggang anak-anak tersebut.

Sekitar satu jam setengah, mereka sampai di SD Marginal Sadan, sebuah sekolah yang didirikan oleh Penangkaran Konservasi Harimau Sumatra (PKHS). SD Marginal Sadan ini berinduk ke SDN 004 Rantaulangsat.

GoRiau Untuk mencapai sekolah, anak-a
Untuk mencapai sekolah, anak-anak Dusun Airbomban harus menyeberang sungai. (foto: ist)

"Itu anak-anak dari Dusun Airbomban, dusun dimana Ustaz Abdul Somad mendirikan masjid. Mereka sekolah ke SD Marginal Sadan, dengan jarak tempuh 1,5 jam berjalan kaki," ujar Yelvi Wasantra, guru di sekolah tersebut sambil memperlihatkan video kepada GoRiau.com pada awal Mei 2021 lalu.

Dikatakan Yelvi, setiap hari anak-anak dari Dusun Airbomban selalu datang ke sekolah. Tidak mudah bagi mereka untuk sampai ke sekolah. Berjalan kaki di tengah hutan dengan medan yang cukup berat. Jika air sungai banjir, mereka harus menggunakan rakit untuk menyeberang.

"Mereka tak hanya basah karena menyeberang sungai, tapi juga basah karena mandi keringat untuk sampai ke sekolah. Kendati demikian, mereka tetap semangat dalam menuntut ilmu," papar Yelvi.

GoRiau Proses belajar mengajar di SD
Proses belajar mengajar di SD Marginal Sadan. (foto: ist)

Di SD Marginal Sadan ini, terdapat 77 orang siswa. Mereka berasal dari tiga dusun, yakni Dusun Sadan, Dusun Airbondan dan Dusun Suit dengan tenaga pengajar sebanyak 4 orang. Sekolah ini berada di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Secara administrasi masuk wilayah Kecamatan Batanggansal, Indragiri Hulu (Inhu), Riau.

Kondisi sekolah hanyalah bangunan papan, dengan dua ruangan. Satu ruangan untuk kelas 1 sampai 3 dan ruangan satunya untuk kelas 4, 5 dan 6. Dalam kegiatan belajar mengajar, tidak semua anak-anak memakai seragam. Kebanyakan dari mereka hanya memakai kaos oblong dan ada juga yang tidak pakai baju.

GoRiau Para pelajar di SD Marginal Sa
Para pelajar di SD Marginal Sadan serius dalam menimba ilmu. (foto: ist)

Bagi Yelvi dan tiga orang guru lainnya, juga tidak mudah dalam mencerdaskan anak Talang Mamak. Pria yang berasal dari Kecamatan Pangean ini harus menempuh perjalanan darat selama 5 jam. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan air naik pompong selama 4 jam. "Kadang saya istrahat dulu di rumah kawan, besoknya baru berangkat ke Dusun Sadan."

"Kami sistem-nya, dua orang guru masuk selama dua minggu, kemudian yang duanya lagi masuk selama dua minggu juga. Jadi, untuk masuk itu, kami harus mempersiapkan bekal sembako untuk dua minggu itu," terang Yelvi.

GoRiau Yelvi memberikan pengayaan kep
Yelvi memberikan pengayaan kepada siswa di SD Marginal Sadan. (foto: ist)

Di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia ini, Yelvi tinggal disebuah rumah yang telah disediakan PKHS. Tak ada listrik, apalagi sinyal internet. Namun, ia mengaku cukup bahagia karena bisa bergaul dengan masyarakat sekitar.

"Kalau dukanya, ya bekal sudah habis. Sementara kita masih ada dua hari di dalam. Ya begitulah, namanya juga kehidupan. Kalau sudah keluar, saya baru posting kegiatan ini di media sosial," ujar Yelvi yang berstatus guru huni ini.

Kendati demikian Yelvi tidak patah semangat dalam mendidik anak-anak suku Talang Mamak. Mereka tambah semangat melihat anak-anak juga semangat dalam menuntut ilmu. Keberadaan sekolah ini juga berdampak positif kepada generasi Talang Mamak. Terbukti, sudah ada beberapa alumni yang bekerja. Sepengetahuan Yelvi, ada dua orang yang bekerja di PKHS tersebut.***

GoRiau Anak talang mamak berjalan kak
Anak talang mamak berjalan kaki di jalan setapak yang membelah Taman Nasional Bukit Tigapuluh. (foto: ist)