JAKARTA - Meski KPU tidak meloloskannya ke Daftar Calon Tetap (DCT) pada pileg 2019, Ketum Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) tetap berpegang pada putusan PTUN yang diperkuat oleh putusan MA.

Dimana dalam putusan itu, MA telah memerintahkan KPU memasukkan nama Oso ke dalam DCT. Kuasa hukum OSO, Herman Kadir mengatakan, jika KPU tetap tidak memasukkan nama klienya ke DCT, maka ia anggap KPU tidak patuh pada putusan hukum, dan telah melakukan pembangkangan konstitusi. 

"Kami menilai, KPU telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, KPU tidak patuh pada hukum. Kan negara kita ini negara hukum siapa saja harus patuh kepada hukum. Putusan pengadilan adalah perintah hukum, harus tunduk pada putusan PTUN, Bawaslu. KPU telah melakukan pembangkangan konstitusi," kata Herman kadir.

Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung, Abdullah menjelaskan, putusan yang dikeluarkan MA sendiri tidak bertentangan dengan putusan MK.

"Jadi keputusan Mahkamah Agung itu menguatkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi tidak ada yang bertentangan. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu berlaku sejak setelah diucapkan. Artinya putusan itu berlaku ke depan. Tidak ke belakang," kata , di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (17/1/2019).

Bahkan menurutnya, putusan MA itu justru memperkuat putusan MK. "Kemudian di MA ditegaskan lagi. Jadi aturan itu tidak boleh berlaku surut. Tapi berlaku ke depan. Sebetulnya hanya itu. Karena kebetulan yang mengajukan itu OSO maka OSO yang dikait-kaitkan," ujarnya.

Namuan demikian Abdullah tak mau berkomentar banyak soal keputusan KPU yang tetap meminta OSO mundur sebagai Ketum Hanura agar dimasukkan dalam DCT. Karena menurutnya, MA hanya meluruskan asas seusai peraturan yang berlaku.

"Itu kan kewenangan KPU, sudah tidak ada hubungannya dengan Mahkamah Agung. Mahkamah agung itu hanya meluruskan asas yang harus diakomodir dalam perturan. Karena yang diuji di sini itu bukan kepentingannya. Tetapi aturannya," ujarnya.

Terkait putusan yang berlaku surut dan tidak surut. Abdullah menegaskan, bahwa hukum itu berlaku ke depan, bukan ke belakang.

"Misalkan contoh saya hari ini merekrut calon humas sejak bulan Januari. Daftar ini, sudah saya umumkan namanya si A, si B, si C. Kemudian setelah besok saya tutup kurang 10 hari ini bikin aturan yang berlatarbelakang wartawan ndak boleh daftar. Ini aturan yang lama tidak melarang. Atutan yang baru tidak melarang diberlakukan sejak anda daftar dari awal. Itu kan namanya diberlakukan surut. Seperti itu contohnya. Kalau bikin aturan jangan diberlakukan ke belakang dong. Karena asas retroaktif itu hanya berlaku untuk pengadilan HAM. Selebihnya berlaku asas legalitas. Hukum itu berlaku ke depan. Agama pun berlaku ke depan bukan ke belakang," ujarnya.

Untuk diketahui, KPU sebelumnya memutuskan tetap tidak meloloskan OSO dalam pencalonan anggota legislatif DPD jika sampai 22 Januari mendatang Ketua DPD RI itu tidak mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Hanura.

Alasannya, putusan Mahkamah Konstitusi melarang pengurus partai politik maju sebagai caleg DPD.

Padahal, sebelumya PTUN sendiri telah mengabulkan gugatan OSO dan memprintahkan KPU untuk segera memasukkan nama Oso ke DCT.

Hal ini sesuai putusan dengan Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN, dimana majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan perkara sengketa proses pemilu yang diajukan OSO.

Dalam surat tersebut, Hakim meminta KPU sebagai tergugat segera melaksanakan putusan tersebut.***