BELAKANGAN mall-mall dan pasar di Pekanbaru kembali ramai dikunjungi masyarakat di saat jelang lebaran. Bandara pun sudah mulai diaktifkan dan dijejali orang-orang. Bahkan bandara Soekarno-Hatta penumpang membludak. Entah dalam rangka dinas atau mudik. Di Jakarta pun kemacetan kembali terjadi layaknya hari-hari biasa. Demikian sekilas pemandangan yang terjadi di negara kita. Selain kembali bergeraknya aktivitas ekonomi dan mobilitas warga, dari sisi protokol penanganan Covid 19 di ruang publik yang sebelumnya ketat sekarang mulai dibikin longgar oleh pemerintah. Sehingga memancing pertanyaan: apakah negara kita sudah bebas wabah corona?

Dunia maya paling bergejolak. Tagar #indonesiaterserah masuk trending topic dunia. Muncul dari rasa campur aduk: kekecewaan, kesal, frustasi, bingung dan marah. Di tengah ketidakjelasan status apakah Indonesia sudah melewati puncak wabah atau belum. Akibat terbatasnya informasi dan pemerintah yang kurang transparan dalam mengelola informasi yang sebenarnya penting untuk diketahui publik. Dalam kondisi dan situasi gamang ini, harusnya jangan dulu kasih kendor. Tak terbilang betapa susah payah organisasi keagamaan menghimbau umat agama masing-masing menghentikan kegiatan di rumah ibadah, terkhusus umat Islam yang terpaksa merelakan ibadah Ramadhan tahun ini jauh dari biasanya. Paling istimewa tenaga medis yang rela berpisah dari keluarga bahkan berkorban nyawa demi tugas mulia. Begitujuga warga yang selama ini sudah patuh untuk tetap di rumah.

Dengan pelonggaran aktivitas dan mobilitas semua bisa sia-sia. Apalagi jika keputusan itu dihasilkan tanpa kajian komprehensif. Upaya pemerintah yang cenderung paradoks sebenarnya sudah bisa terbaca sejak beberapa waktu sebelumnya. Mengingat di beberapa kesempatan Presiden dalam pidato dan pernyataan resminya sempat melemparkan wacana agar “Indonesia berdamai dengan corona”. Sebuah narasi yang cukup membingungkan. Karena di sisi lain Presiden juga melontarkan narasi “melawan corona”. Mungkinkah relaksasi protokol penanganan wabah Covid 19 yang terjadi belakangan berangkat dari pernyataan Presiden tersebut? Wallahualam.

Evaluasi

Melalui tulisan ini, marilah kita coba mengevaluasi langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah setakad ini. Sehingga kita bisa melihat sudah seberapa optimal pemerintah berupaya dan bagaimana semestinya langkah ke depan. Walau sejumlah kebijakan berjalan cukup baik, namun bisa dibilang masih setengah hati dan kurang serius. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bersama-sama dikampanyekan baik oleh pemerintah dan didukung elemen masyarakat pun sejauh ini sebenarnya sudah mulai membentuk kebiasaan baru yang positif di tengah masyarakat dalam hal pencegahan penularan. Namun sayangnya keinginan untuk menyukseskan program ini tidak diiringi komitmen pemerintah baik itu pusat hingga daerah.

Pusat terkesan menyerahkan ke daerah, sementara daerah karena tidak punya pengalaman yang sama dalam menangani wabah, maka so so. Wajar, beda daerah beda pula tingkat keberhasilannya. Tergantung kecakapan sektor leadership dan dukungan dari perangkat daerah. Sebenarnya kekurangan ini bisa disiasati dengan semangat kolektivitas. Akan tetapi lagi-lagi akibat lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah dan itikad semua serba tidak jelas. Contohnya paling sederhana saja pengelolaan database dan pengujian sampel, tidak ada saling keterdukungan, tidak efisien dan tidak efektif. Berikut juga pembagian bantuan sosial, yang sudahlah jumlahnya terbatas tidak terkoordinir pula.

Semua ini berawal dari kekeliruan dalam dalam merumuskan peraturan. Selama urusan peraturan tidak beres, jangan harap memperoleh hasil yang ideal. Peraturan dan pedoman yang dipakai dalam penanganan wabah corona justru diragukan, baik secara konsitutusional dan sisi praktis. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 atau Perpu Covid-19 sudah sejak awal dipermasalahkan oleh banyak pihak. Terakhir, sangat disayangkan, dalam pengesahannya menjadi Undang-undang di DPR-RI hanya fraksi PKS yang menolak.

Sebagaimana telah kita ketahui, meski judul peraturan tersebut Covid-19, namun dalam implementasinya hambar. Alokasi anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 justru tidak mendapat porsi memadai. Alokasi sektor kesehatan dan perlindungan sosial tidak sebesar untuk ekonomi yang diarahkan ke industri dan dunia usaha. Dari Rp405 triliun yang dikeluarkan dari APBN, alokasi kesehatan tak sampai 19 persen (Rp75 triliun). Sementara paling besar justru untuk pemulihan ekonomi nasional. Padahal, sektor kesehatan sangat penting dalam mengatasi masalah pandemi covid-19. Apalagi di rentang waktu puncak pandemi. Kita bukan menegasikan pentingnya membangkitkan ekonomi. Namun dengan kondisi anggaran negara yang serba terbatas yang akhirnya terkuak saat pandemi ini, maka harus ada prioritas. Dan prioritas ini adalah mencegah wabah menyebar dan menyelamatkan jiwa sebanyak mungkin.

Manusia Paling Utama

Kita harusnya belajar dari Swedia. Mengutip artikel di media terkemuka The Spin Off yang ditulis Cecillia Robinson, pebisnis asal Swedia sekaligus pendiri My Food Bag, Pemerintah Swedia sejak awal wabah Corona melanda negara itu, mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi jauh lebih besar dari pemulihan kesehatan dan penanganan kesehatan. Hasilnya? Memasuki April 2020 tingkat kematian akibat Covid 19 di Swedia meningkat drastis hingga 10 kali lipat dibandingkan negara tetangganya Finlandia. Nahasnya, sudahlah didera tingkat kematian tinggi, alokasi insentif dan pemulihan ekonomi yang jumlahnya lebih besar rupanya tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Ekonomi Swedia selama bulan April 2020 justru anjlok.

Perlu untuk merekonstruksi kerangka berpikir pemerintah soal ekonomi. Ekonomi dan keuangan bukan melulu menyoal kapitalisasi dan duit. Manusia dalam konsep ekonomi modern adalah sumber daya paling berharga. Manusia yang memproduksi ekonomi, bukan sebaliknya. Mustahil berharap ekonomi bangkit jika jiwa dan raga manusianya sakit. Apalagi dalam kondisi ketidakpastian kapan wabah berakhir. Pelajaran dari Swedia tadi bisa jadi pelajaran berharga. Ironisnya pola di Swedia di-copy-paste oleh Pemerintah Indonesia saat ini.

Berdasarkan hal tersebut, mengalokasikan anggaran kesehatan yang proporsional sangat beralasan. Kita tidak tahu apakah sedang atau telah melewati puncak pandemi. Lebih baik memilih jalan aman. Apalagi informasi terkini melaporkan telah terjadi penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 973 orang hanya dalam rentang waktu sehari dalam minggu ini, yakni sejak Rabu (20/5) sampai Kamis (21/5). Angka ini merupakan rekor tertinggi laju penambahan kasus positif sejak diumumkan pertama kali pada awal Maret 2020. Oleh karena itu seharusnya pemerintah untuk refocusing kebijakan. Prioritaskan untuk kesehatan warga. Bukan malah jor-joran untuk ekonomi, apalagi penggunaannya tanpa dibarengi transparansi dan kajian strategis seperti diantaranya anggaran kartu pra kerja yang sempat kontroversi.

Dengan alokasi anggaran yang fokus kepada kesehatan, niscaya akan bisa meminimalisir penyebaran. Mencegah penularan dan menyelamatkan jiwa sebanyak dan sebisa mungkin. Dengan alokasi yang memadai, maka sarana kesehatan bisa ditingkatkan. Karena kita sudah mendengar keluhan dari tenaga kesehatan yang serba kekurangan. Jangan sampai Indonesia mengulangi kegagalan Pemerintah Swedia. Kecuali jika pemerintah sanggup dan mampu menyiapkan anggaran lebih besar dan tanpa batas untuk biaya pemulihan dan pelayanan kesehatan ke depan. *** 

* Penulis adalah anggota DPRD Provinsi Riau, Komisi III