JAKARTA -- Umat Islam (Muslim) diprediksi akan menjadi penduduk mayoritas di 13 negara di Eropa antara tahun 2085 hingga 2215.

Dikutip dari Republika.co.id, prediksi tersebut merupakan hasil survei jurnal terbitan Emerald Publishing di 30 negara di Eropa. Menurut hasil survei, ada banyak faktor yang menyebabkan negara-negara tersebut menjadi mayoritas muslim. Namun dua penyebab utamanya adalah karena tingkat kesburan wanita Muslim di Eropa lebih tinggi dibandingkan orang Eropa lainnya dan adanya migrasi. 

Setiap wanita Muslim di Eropa memiliki satu anak lebih banyak dibandingkan wanita dengan agama atau keyakinan lainnya.  

Kedua, migrasi penduduk dari negara Muslim terlihat mengalami peningkatan sejak 2017. Skema ini terus berulang setiap tahun dan ini menjadi faktor penyumbang bertambahnya penduduk Muslim di Eropa. 

Pengungsi datang terutama dari Suriah, Afghanistan, Irak dan Eritrea.  Secara keseluruhan, 86 persen dari mereka adalah Muslim berdasarkan sepuluh besar asal pengungsi 2010 hingga 2016 (Pew Research Center, 2017). Pengungsi yang datang memiliki dua tujuan utama, yakni mencari suaka dan memperbaiki keadaan ekonomi atau mencari pekerjaan.  

Menurut hasil penelitian PSU Research Review ini menyebutkan 13 negara di mana populasi Muslim akan menjadi mayoritas antara tahun 2085 dan 2215. Negara-negara tersebut di antaranya, Siprus (pada tahun 2085), Swedia (2125), Prancis (2135), Yunani (2135), Belgia (2140), Bulgaria (2140), Italia (2175), Luksemburg (2175), Inggris Raya (2180), Slovenia (2190), Swiss (2195), Irlandia (2200), dan Lituania (2215). 

Populasi Muslim yang tumbuh ini tentu akan berdampak pada situasi Eropa baik dari sisi sosial, politik dan ekonomi. Contoh dari perubahan tersebut akan mencakup semakin  banyaknya masjid,  azan yang menggunakan pengeras suara, komersialisasi makanan dan produk halal, beban kerja yang kompatibel dan dapat disesuaikan jam kerja dengan batasan Ramadhan, undang-undang baru yang berpihak pada penduduk Muslim dan meningkatnya campur tangan pemerintah asing dalam keputusan politik Eropa.    

Pada awalnya, anti-Partai politik Islam mungkin mendapatkan dukungan dalam reaksi xenofobia terhadap meningkatnya kontribusi dari populasi Muslim hingga kehidupan masyarakat Eropa sampai populasi mayoritas muslim.  Kemudian reaksi negatif akan menghilang dan berdampak pada adanya perubahan sosial, politik, dan ekonomi. 

Perubahan ini juga berdampak pada pribadi Muslim yang hidup di Eropa. Muslim sangat terikat pada keyakinan mereka dan akar mereka dan biasanya menjaga hubungan dengan negara asalnya jika mereka adalah pendatang. 

Secara politis, komunitas Muslim lebih banyak pemilih sayap kiri. Karena partai politik kiri biasanya mendukung integrasi migran Muslim ke masyarakat Eropa. 

Secara ekonomi, Muslim berpendidikan lebih rendah daripada non muslim, mayoritas dari mereka bekerja di sektor konstruksi dan manufaktur.  Namun generasi kedua atau ketiga dari migran Muslim mungkin memiliki akses ke pendidikan, mendapatkan ijazah, dan memiliki pekerjaan lebih baik di kantor.   

Mereka juga bisa terlibat dalam politik.  Ada banyak contoh warga Muslim telah berhasil dalam politik di mana mereka menduduki peran politik utama deputi, menteri atau walikota kota besar, misalnya walikota saat ini di London, Inggris, Sadiq Aman Khan, seorang Muslim asal Pakistan yang mulai menjabat pada tahun 2016 atau Aygul Izkan yang menjabat sebagai Menteri Sosial, Wanita, Keluarga, Kesehatan dan Integrasi antara 2010 dan 2013, menjadi politisi Turki pertama di Jerman. Dia merupakan keturunan Muslim yang menjadi menteri.  

Perubahan tersebut akan membawa periode penyesuaian yang tidak mudah bagi masyarakat Eropa, terutama terkait peradaban Islam yang berbeda dengan Eropa. 

Namun hal tersebut akan bergantung pada tingkat keterbukaan dan toleransi komunitas terhadap satu sama lain dan kesediaan mereka untuk membangun Eropa yang seimbang. Kedepannya Eropa akan memiliki masyarakat yang diperkaya dengan keragaman keyakinan dan budaya.***