PEKANBARU - Kebakaran lahan dan hutan (Karlahut) yang menyebabkan bencana asap dan kegundulan hutan di Provinsi Riau memang menyedot perhatian publik mulai dari nasional hingga internasional.

Bukan sesekali dua kali, karlahut di Riau sudah menjadi momok yang menahun selama 19 tahun. Beruntung dipenghujung tahun 2016 ini, musim penghujan di Riau terbilang cukup panjang. Sehingga, beban satuan tugas (Satgas) dalam menanggulangi dan mencegah beberapa hotspot yang mulai bermunculan setidaknya mendapat bantuan siraman air kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

Bermula dari keprihatinan terhadap bencana kabut asap yang menggempur masyarakat Riau sepanjang 2015 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi umum yang mengangkat tema Kolaboratif Manajemen untuk Peningkatan Tata Kelola Hutan Produksi yang Lestari.

Kegiatan diskusi yang termasuk dalam serangkaian acara dalam gelaran Festival Media AJI 2016 di Kota Pekanbaru, Riau itu, menggandeng The Nature Conservancy (TNC) dan Society of Indonesian Environmental Journalists (SEIJ) sebagai pemateri.

Belasan peserta yang terdiri dari AJI di seluruh Indonesia pun tampak fokus membiarkan pemateri mengupas isu-isu lingkungan di Riau. Salah satunya mengenai konservasi gambut oleh pengelola KPHP Model Tasik Besar Serkap. KPHP tersebut turut mengelola sebagian gambut di Semenanjung Kampar yang merupakan kawasan hutan rawa gambut di pesisir Timur Sumatera dengan luas 680.000 hektare.

Tanpa diduga ditengah-tengah diskusi yang telah berselang selama satu jam lamanya, ternyata menarik perhatian seorang kakek yang mengaku berusia 70 tahun. Dengan santun, kakek berkacamata yang diketahui bernama Dr Samaruddin Siregar ini pun meminta izin untuk bergabung dalam diskusi yang notabenenya diikuti kalangan berusia jauh dibawahnya.

Ternyata, Dr Samaruddin Siregar yang pernah menjadi dosen di Hawaii dan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau itu mengaku tertarik dengan diskusi lingkungan ini lantaran merasa prihatin dengan satwa khas Sumatera yang mulai punah karena rusaknya habitat mereka.

"Harimau Sumatera punah, semuanya punah karena kelestarian alam tidak terjaga. Saya berharap kawasan hutan di Riau tidak diseragamkan semua. Tetapi ada kawasan-kawasan tertentu yang harus dipertahankan untuk menjaga spesies-spesies lain. Jangan semua hutan diubah jadi akasia," kata Samaruddin berapi-api. ***