SIAK – Meski sudah berpindah ke Provinsi Riau lewat program transmigrasi di era Presiden Soeharto, masyarakat beretnis Jawa masih teguh menjaga adat istiadat dari kampungnya. Salah satunya, di Kampung Lubuk Tilan, Kecamatan Dayun, Siak.

Adat istiadat yang dimaksud adalah 'sedekah bumi', dimana budaya ini merupakan bentuk dari rasa syukur mereka terhadap apa yang Allah SWT berikan dalam memanfaatkan hasil bumi.

Sedekah Bumi adalah kegiatan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas hasil bumi yang melimpah. Kegiatan ini masih banyak dijumpai pada masyarakat di daerah pedesaan, khususnya di Kampung Lubuk Tilan yang kehidupannya ditopang dari sektor pertanian.

Sedekah Bumi ini menjadi sarana ucapan terima kasih warga setempat kepada Allah atas segala karunia yang diberikan. Seluruh penduduk berkumpul dengan penuh suka cita untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka melalui berbagai kegiatan keagamaan.

Bagi masyarakat Jawa khususnya para kaum petani, tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang mendalam. Selain mengajarkan rasa syukur, tradisi sedekah bumi juga mengajarkan pada kita bahwa manusia harus hidup harmonis dengan alam semesta.

Sedekah Bumi di Kampung Lubuk Tilan dengan yang di daerah jawa terjadi sedikit perbedaan, yakni soal penentuan waktu. Di Pulau Jawa, masyarakat biasanya melaksanakan Sedekah Bumi pada Bulan Muharram (Syuro), sedangkan di kampung Lubuk tilan mereka melaksanakan sedekah bumi pada Bulan Syawal.

Sedekah bumi dilaksanakan setiap satu tahun sekali, untuk tanggal dan bulan pelaksanaan sedekah bumi ditentukan dengan melihat dari kalender Jawa. Biasanya, sedekah bumi diadakan pada Bulan Syuro di hari Selasa Kliwon, jika tidak terdapat hari Selasa Kliwon, maka akan dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon.

Jika tetap tidak ada pada juga, maka akan dilaksanakan di hari apapun, yang terpenting pada hari berunsur kliwon.

Sedekah bumi dilaksanakan di salah satu persimpangan jalan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, serta masyarakat Lubuk Tilan dengan melakukan do’a dan dzikir bersama. Setiap masyarakat biasanya membawa makanan yang nantinya akan dimakan bersama setelah pembacaan do’a. ***

Penulis: Agung Afnanda Putra (Mahasiswa KKN UIN Suska Riau dari Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum)