SELATPANJANG - Tempat wisata selalu dicari-cari dipenghujung minggu atau disaat hari libur, terutama di Meranti, kabupaten yang dijuluki kota sagu itu masih minimnya tempat berakhir pekan.

Telah bertahun-tahun lamanya masyarakat di Kabupaten termuda di Riau terutama yang berada di kota Selatpanjang hanya menikmati hari libur di ujung Dorak dengan pemandangan yang tidak seberapa luas ditambah sedikit tumpukan batu dan siraman pasir dipingggir pantai, kemudian jembatan Alai yang berada di Kecamatan Tebingtinggi Barat dengan keindahan tiang jembatan yang cat warna-warni.

Seiring waktu berjalan, pikiran masyarakat mulai terbuka dan berinisiatif memanfaatkan kekayaan alam menjadi objek wisata. Meski belum berjalan maksimal setidaknya upaya yang dilakukan mengurangi kehausan wisata masyarakat setempat.

Belum lama ini telah dibuka tempat wisata hutan mangrove di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, dikarenakan lokasi yang jauh dari pusat kota maka lokasi tersebut jarang didatangi oleh pengunjung.

Kemudian, masyarakat yang bekerjasama dengan pihak desa kembali berinisiatif membuat jembatan yang diberi nama "Jembatan Pelangi" sebagai tempat wisata dengan pemandangan timbunan batu dan pasir dipinggir pantai, berlokasi di Desa Banglas, Kecamatan Tebingtinggi.

Selanjutnya, ekowisata hutan mangrove di Desa Lemang, Kecamatan Rangsang Barat, juga tercipta dari inisiatif warga setempat dalam upaya menyediakan tempat wisata sekaligus pelestarian keindahan alam.

Menyusuri selat air hitam menyebrangi dengan sebuah kempang (kapal penyebrangan antar pulau) wartawan GoRiau.com, Sabtu (23/2/2019) siang berkunjung langsung ke lokasi ekowisata hutan mangrove di Desa Lemang, Kecamatan Rangsang Barat. Sekitar 20 menit kempang pun tiba di Pelabuhan Peranggas, kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Lemang yang keberadaannya tidak begitu jauh dari pelabuhan.

Tiba di lokasi atau depan pintu masuk ekowisata hutan mangrove itu, pengunjung diminta membeli tiket masuk di warung (depan pintu masuk). Satu tiket untuk satu orang dijual dengan harga Rp.6.000 (enam ribu rupiah)

Sebelum masuk ke lokasi wisata, pemilik warung juga menawarkan para pengunjung untuk membeli minuman dan jajanan lainnya.

Langkah pun dimulai dengan menginjakkan kaki ke jembatan yang terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 200 meter. Sebelum perjalanan sampai ke penghujung jembatan, para pengunjung juga disediakan kursi dan dimanjakan dengan sejumlah buai ayunan yang terbuat dari kain dan papan.

Dalam kesempatan itu, Taufik selaku pengelola wisata hutan mangrove tersebut saat ditemui mengaku bahwa tempat wisata yang dibangun mulai Agustus 2018 itu dengan menggunakan dana pribadi.

"Ini baru dibuka sekitar bulan Desember 2018 lalu, dan setiap pengunjung yang masuk dikenakan biaya enam ribu rupiah karena ini kita bangun secara pribadi," katanya.

Kata Taufik pula, uang yang didapatkan dari pengunjung akan digunakan untuk kelanjutan pembangunan sejumlah fasilitas dilokasi wisata tersebut.

"Dari uang enam ribu itu, lima ribu untuk kelanjutan pembangunan dan biaya pemeliharaan kemudian yang seribu lagi kita masukan ke kas untuk kegiatan sosial warga maupun pemuda disini baik itu gotong-royong maupun kegiatan lainnya," jelasnya.

Diakui Taufik pula, sejak mulai dibuka hingga saat ini jika diperhitungkan tempat wisata yang dibangun menelan dana puluhan juta itu belum ada keuntungan sama sekali.

"Kalau untuk untung belum ada, karena biaya yang kita keluarkan untuk pembangunan saja belum tertutupi apalagi mau untung. Kita tidak memikirkan keuntungan dulu tapi bagaimana masyarakat bisa menikmati hari-hari libur di tempat-tempat wisata, karena kita sendiri tahu bahwa di Meranti masih minim tempat-tempat wisata terutama di wilayah Rangsang Barat ini. Dan tujuan kita berupaya untuk menjaga kelestarian alam," ungkapnya.

Usai menikmati keindahan alam di Desa Lemang, perjalanan kembali dilanjutkan menuju kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. ***