PEKANBARU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa aembilan orang saksi terkait perkara dugaan suap pengurusan dana alokasi khusus (DAK) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun anggaran 2017 dan APBN 2018, dengan tersangka mantan walikota Dumai, Zulkifli Adnan Singkah (ZAS).

Pemeriksaan itu dilakukan penyidik KPK di Kantor Polda Riau, yang berada di Jalan Patimura, Kota Pekanbaru.

Sembilan orang yang dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi, empat orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yakni Said Effendi, Kepala Bidang Perizinan dan Non Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Dumai.

Kemudian Marjoko Santoso, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Dumai, Muklis Susantri, Kepala Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Dumai, dan Humanda Dwipa Putra, seorang PNS.

Selain dari pemerintah Kota Dumai, ada lima orang dari pihak swasta yang juga diperiksa yakni Baharudin, Akhmad Khusnul Ilmi, Ghulam Fatoni, Eli Yati, dan Hendri Sandra.

"Hari ini, pemeriksaan saksi ZAS TPK suap terkait dengan pengurusan Dana Alokasi Khusus Kota Dumai dalam APBNP tahun 2017 dan APBN 2018, pemeriksaan dilakukan di kantor Polda Riau," ujar Juru Bicara KPK, Ali Fikri melalui keterangan tertulisnya via WhatsApp, Rabu (3/2/2021).

Perkara yang menjerat Zulkifli Adnan Singkah ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan tahun anggaran 2018.

Selain pria yang akrab disapa Zul itu, KPK telah menetapkan 11 orang lainnya sebagai tersangka. Diantaranya Amin Santono selaku anggota Komisi XI DPR RI, Eka Kamaluddin selaku pihak swasta/ perantara.

Lalu Yaya Purnomo selaku Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, serta Ahmad Ghiast selaku swasta/ kontraktor.

Ada pula nama Sukiman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019, Natan Pasomba Pelaksana Tugas dan Pj Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua. Keenam nama di atas tersebut telah divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan Tipikor.

Selanjutnya yang juga ditetapkan tersangka, BBD, selaku Walikota Tasikmalaya, KSS, Bupati Labuanbatu Utara 2016-2021, PJH pihak swasta sekaligus Wabendum PPP 2016-2019, ICM, anggota DPR 2014-2019, AMS, dan Kepala badan Pengelola Pendapatan Daerah Kabupaten Labuanbatu Utara.

Hingga saat ini, enam orang tersebut masih dalam proses penyelesaian penyidikan dan telah ditahan KPK.

Adapun konstruksi perkara yang menjerat Zul itu, bermula pada Maret 2017. Saat itu dia bertemu dengan Yaya Purnomo di sebuah hotel di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Walikota Dumai yang kini non aktif tersebut, meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK Pemerintah Kota Dumai.

Lalu pada pertemuan lain, akhirnya disanggupi oleh Yaya Purnomo dengan catatan fee sekitar 2 persen. Kemudian pada Mei 2017, Pemerintah Kota Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar tahun anggaran 2016 sebesar Rp22 miliar.

Dalam APBN Perubahan tahun 2017, Kota Dumai mendapat tambahan anggaran sebesar Rp22,3 miliar. Tambahan ini disebut sebagai penyelesaian DAK Fisik 2016 yang dianggarkan untuk kegiatan bidang pendidikan dan infrastruktur jalan.

Masih pada bulan yang sama, Pemerintah Kota Dumai mengajukan usulan DAK untuk tahun anggaran 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan antara lain RS rujukan, jalan, perumahan dan permukinam, air minum, sanitasi, dan pendidikan.

Zul kembali bertemu dengan Yaya Purnomo membahas pengajuan DAK Kota Dumai tersebut yang kemudian disanggupi untuk mengurus pengajuan DAK TA 2018 Kota Dumai yaitu untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dengan alokasi Rp20 miliar, dan pembangunan jalan sebesar Rp19 miliar.

Untuk memenuhi fee terkait dengan bantuan pengamanan usulan DAK Kota Dumai kepada Yaya Purnomo, Zul memerintahkan untuk mengumpulkan uang dari pihak swasta yang menjadi rekanan proyek di Pemerintah Kota Dumai.

Penyerahan uang setara dengan Rp550juta dalam bentuk dollar Amerika, dollar Singapura dan rupiah pada Yaya Purnomo dan kawan-kawan itu, dilakukan pada bulan November 2017 dan Januari 2018.

Sedangkan untuk perkara kedua, tersangka Zul diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.

Gratifikasi ini tidak pernah dilaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK sebagaimana diatur di Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena itu, dalam dua perkara tersebut, tersangka Zul disangkakan melanggar pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini untuk perkara pertama.

Sementara untuk perkara kedua, Zul disangkakan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***