PEKANBARU - Selama 4 tahun terakhir, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengajukan gugatan perdata maupun perdana untuk sekitar 601 kasus pengrusakan hutan kepengadilan. Selain itu, KLHK juga memfasilitasi pihak kepolisian untuk menangani 164 kasus, serta memberlakukan sanksi administrasi kepada 618 perusahaan yang tidak menaati aturan dalam pengelolaan kawasan hutan dan lahan.

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, Senin, (22/4/2019). Dengan upaya penegakan hukum yang intensif tersebut, menurutnya kini telah berhasil mengurangi jumlah hot spot (titik panas/titik api, red) di Indonesia.

"Hal menarik terkait upaya penegakan hukum, seperti di Karhutla ini, kita bisa melihat penurunan hot spot secara signifikan khususnya di wilayah konsesi perusahaan. Itu menunjukkan bahwa upaya hukum kita dalam 4 tahun terakhir berhasil memberikan efek jera kepada perusahaan- perusahaan maupun pihak lainnya yang tidak taat aturan," ungkap Ridho usai menjadi narasumber dalam agenda Ngobrol Pintar PWI Riau, Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru.

Ridho melanjutkan, KLHK juga sedang melakukan eksekusi terhadap 10 kasus yang telah inkrah di pengadilan dengan nilai putusan sekitar Rp11 triliun. Provinsi Riau sendiri memiliki 3 perusahaan yang telah diinkrahkan, terkait Karhutla dan perambahan kawasan hutan.

"Kasus - kasus yang sudah kita ajukan, ada 10 yang sudah inkrah dan sekarang kita sedang eksekusi untuk nilai putusannya yang berkisar Rp11 triliun. Kita juga memperhatikan Provinsi Riau, setidaknya ada 3 perusahaan yang sudah inkrah dari kasus - kasus yang kita ajukan," ujarnya.

"3 kasus tersebut adalah kasus PT MPL, PT JJP dan PT NSP. Kita juga melakukan pemberian sanksi kepada pihak perusahaan maupun pihak lain yang melakukan kejahatan kehutanan di Riau," sebutnya.

Selanjutnya, Ridho berharap penegakan hukum LHK akan terus berdiri dan semakin kuat, demi menjaga lingkungan hidup dan hutan di seluruh wilayah Indonesia. ***