CHICHA Koeswoyo merupakan artis cilik paling populer di era 1970 hingga 1980-an. Saat berusia 16 tahun, Chicha mengambil keputusan yang mengagetkan publik, tapi tidak ada hubungannya dengan aktivitasnya sebagai artis, melainkan terkait dengan keyakinannya. Ya, Chicha ketika itu memutuskan menjadi mualaf.

CHICHA Koeswoyo merupakan artis cilik paling populer di era 1970 hingga 1980-an. Saat berusia 16 tahun, Chicha mengambil keputusan yang mengagetkan publik, tapi tidak ada hubungannta dengan aktivitasnya sebagai artis, melainkan terkait dengan keyakinannya. Ya, Chicha ketika itu memutuskan menjadi mualaf.

Dikutip dari Ngopibareng.id, Chicha Koeswoyo sangat bersyukur karena Allah SWT telah memberinya hidayah sehingga ia menjadi Muslimah.

Dituturkan Chicha Koeswoyo, Allah memberi hidayah melalui lantunan adzan Maghrib yang sebelumnya sebelumnya tidak disukainya.

''Ketika itu saya berusia 16 tahun kelas satu SMA Tarakanita Jakarta,'' kisahnya kepada Ngopibareng.id.

Chicha Koeswoyo lantas bercerita tentang perjalanan hidupnya mendapatkan hidayah dan reaksi kedua orang tuanya awal mengetahui artis bersuara nyaring itu telah memeluk Islam.

''Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama. Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama Islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Jawa Timur,'' ujar Chicha.

Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak mama yang menjadi pendeta. Walaupun berbeda agama, papa dan mama tidak pernah mempunyai masalah. Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing,'' tutur Chicha Koeswoyo.

Dididik Secara Kristen

Seperti anak-anak Kristen lainnya, Chicha Koeswoyo diikutsertakan di sekolah Minggu di gereja. Setiap kali pergi untuk melaksanakan kebaktian, Chicha Koeswoyo diantar oleh ayahnya.

''Intinya, kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal atau Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari besar tersebut,'' kenangnya.

Di usia 16 tahun, Chicha Koeswoyo bersekolah di SMA Tarakanita. Rumahnya saat itu berdekatan dengan masjid. Ia berterus terang bahwa dirinya sempat terganggu dengan suara azan, apalagi menjelang Maghrib.

''Suara azan dari toa masjid begitu keras. Ditambah lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan Maghrib berkumandang, saya mematikan televisi karena di semua chanel, semua stasiun menayangkan azan yang sama'' bebernya.

Remot Televisi Hilang

Di suatu hari menjelang Magrib, terjadilah sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka. Ketika itu azan Maghrib muncul di layar televisi. Seperti biasa Chicha Koeswoyo mencari remot untuk mematikan televisi. Namun anehnya, saat itu Chicha Koeswoyo tidak bisa menemukan remot tersebut.

''Kesel kan nyari remot di sela-sela sofa. Saya angkat semua bantal, lalu periksa kolong meja, tapi remotnya nggak ketemu. Karena putus asa, saya pasrah duduk di sofa menatap layar teve yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya,'' kenang dia.

Tiba tiba ada perubahan yang luar biasa pada diri Chicha Koeswoyo. Hati perempuan kelahiran 1 Mei 1968 itu menjadi teduh. Baris demi baris terjemahan azan tersebut terus dibacanya, dan entah karena apa, hati Chicha Koeswoyo terasa sejuk.

''Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini sekan-akan ada suara yang berkata padaku, 'Sampai kapan kau mau mendengar panggilan-Ku, Chicha. Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dariKu?,'' tutur Chicha Koeswoyo.

Saat itu, lanjut Chicha Koeswoyo, dirinya tiba-tiba menangis. Entah karena sedih, marah, bingung, galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu berbaur menjadi satu.

''Saya terus menangis tanpa tahu harus melakukan apa. Esok harinya, curhat ke adikku. Kami berdua memang sangat dekat satu sama lain. Adik saya ternyata sangat berempati atas apa yang menimpa kakaknya ini. Dia tidak mengeluarkan satu pun kata yang menyalahkan kakaknya. Bahkan dia bilang, 'Aku akan support apa pun kalau itu memang membahagiakan kakak,'' ujar Chicha Koeswoyo.

Mulai Belajar Agama Islam

Chicha Koeswoyo lantas mengajak adiknya ke sebuah toko Muslim yang lokasinya tak jauh dari rumah. Di sana dia membeli mukena, Alquran dengan tafsir dan terjemahannya. Tak lupa, dia juga membeli sebuah buku ''Tuntunan Shalat''.

Sesampainya di rumah, Chicha Koeswoyo dan adiknya mempelajari cara berwudhu, melakukan shalat hingga menghafal bacaan shalat lima waktu. Setelah dirasa mampu, Chicha Koeswoyo dan adiknya mulai beribadah shalat. Semua itu dilakukan di luar sepengetahuan kedua orangtuanya.

''Saat kami belajar tuntunan shalat dan menjalankan ibadah, pintu kamar selalu kami kunci. Mama suka marah kalau tahu kami mengunci pintu kamar. Mukena dan Alquran disembunyikan di laci,'' ungkap pemilik nama asli Mirza Riadiani Kesuma itu.

Waktu terus berlalu. Bulan Ramadhan pun datang. Tentu saja di bulan suci tersebut Chicha Koeswoyo dan adiknya ingin menjalankan ibadah puasa sebagai kewajiban umat Muslim.

''Berpuasa dari waktu subuh sampai Maghrib sebetulnya sama sekali tidak sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali mama mengajak makan bersama. Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak. 'Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,'” Chicha Koeswoyo berbohong.

Selama 30 hari berpuasa, Chicha Koeswoyo pun menanti Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Ia pun tidak mau kehilangan momen untuk shalat Idul Fitri bersama jamaah lainnya. Chicha Koeswoyo dan sang adik lantas mengatur strategi untuk masuk ke masjid tanpa ketahuan orangtuanya.

''Kita dorong mobil sampe agak jauh dari rumah. Kebetulan mama masih tidur. Pak satpam sempat curiga, tapi kami bisa berbohong. Sampai di masjid, banyak tetangga yang bingung dan tanya kenapa kami masuk masjid. Saya sama adik cuma diam,'' cerita Chicha Koeswoyo.

Pengakuan ke Orangtua

Banyak kebohongan yang dilakukan Chicha Koeswoyo saat ia menjadi mualaf. Tetapi, ia akhirnya bertekad untuk membuat pengakuan kepada orangtuanya. Di luar dugaan, sang ayah menyambut bahagia keputusan putrinya menjadi mualaf. Tetapi, keluarga harus menerima kenyataan bahwa sang ibu mendadak sakit mendengar kabar itu.

''Chicha masuk Islam, Ma. Chica masuk Islam, Papa. Chicha minta maaf tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu... Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja,'' ungkapnya.

"Alhamdulillah...! Di luar dugaan Papa berteriak kegirangan mendengar berita tersebut,'' kisah Chicha Koeswoyo.

Tanpa diduga, tiba-tiba sang ibu muntah darah dan tubuhnya sempoyongan. Untungnya, Nomo Koeswoyo dengan sigap menangkap tubuh istrinya dan mendudukkannya di sofa. Sejak peristiwa itu, sang ibu mogok bicara. Kondisi ini berlangsung hingga tiga bulan lamanya.

Selama mengurung diri di kamar, setelah pulang sekolah, Chicha Koeswoyo membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah. Di luar dugaan, sang ibu akhirnya memberi sebuah kejutan.

''Mama kasih kotak isinya mukena, Alquran, kerudung, dan buku-buku Islam yang lumayan tebal. Mama bahkan menyuruh saya mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al Azhar sekaligus memindahkan sekolah saya. Di usia 16 tahun, saya resmi menjadi mualaf,'' ucapnya penuh syukur.

Chicha Koeswoyo sebenarnya ingin mengajak sang ibu menjadi mualaf. Namun niat itu diurungkan. Karena mengubah keyakinan seseorang itu butuh keinginan langsung dari yang bersangkutan. Bukan paksaan.

''Dengan hati tenteram, saya menjalani hidup sebagai perempuan Muslim. Tahun 2002, mama meninggal dunia. Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi mualaf dan memeluk agama Islam. Alhamdulillah,'' ujar Chicha. ***