LONDON -- Anita Nayyar tertarik dengan Islam sejak berusia 16 tahun, namun baru memutuskan bersyahadat (memeluk Islam) pada usia 18 tahun.

Dikutip dari Republika.co.id, psikolog yang juga aktivis kesetaraan gender ini mengisahkan, dirinya merupakan seorang Anglo-India dengan kakek-nenek Hindu yang hidup melalui pemisahan India dan Pakistan. Bahkan dia melihat keluarganya ditembak oleh kelompok Muslim.

''Saya dibesarkan dengan pandangan yang agak redup tentang apa artinya menjadi Muslim. Saya adalah seorang Kristen yang sangat religius, terlibat dalam gereja, dan ingin menjadi pendeta,'' kata dia dilansir dari laman The Guardian, Senin (21/6).

Pada usia 16, Anita memilih perguruan tinggi sekuler dan berteman dengan kalangan Muslim. Dia pun terkejut dengan betapa normalnya mereka, dan betapa ia menyukai mereka.

''Saya pun memulai perdebatan, awalnya untuk memberi tahu mereka betapa buruknya agama yang mereka ikuti, dan saya mulai belajar bahwa itu tidak terlalu berbeda dengan Kekristenan. Bahkan, tampaknya lebih masuk akal,'' ujarnya.

Butuh waktu satu setengah tahun bagi Anita sebelum sampai pada titik untuk masuk Islam. ''Dan saya menjadi seorang Muslim pada tahun 2000, berusia 18 tahun. Ibu saya kecewa dan ayah saya diam-diam menerima. Anggota keluarga saya yang lain merasa dikhianati,'' ungkapnya.

Anita dulu memakai syal di kepalanya yang bisa berarti banyak hal. Ini bisa menjadi penanda iman seseorang, yang berguna ketika Anda tidak ingin diceramahi atau diajak minum alkohol.

Hal ini juga dapat menarik perhatian negatif dari orang-orang yang menstereotipkan perempuan Muslim yang terlihat sebagai tertindas atau teroris.

''Namun hal ini juga bisa mendapatkan reaksi positif dari masyarakat muslim. Tetapi orang-orang mengharapkan perilaku tertentu dari seorang wanita berjilbab, dan saya mulai bertanya-tanya apakah saya melakukannya untuk Tuhan atau untuk memenuhi peran wanita saleh,'' ucapnya.

Pada akhirnya, Anita mengenakan jilbab sebagai wujud kedekatan hubungan dirinya dengan Allah SWT.***