JAKARTA - Kisah para personel Marinir TNI Angkatan Laut ikut meredakan ketegangan dan kericuhan di wilayah Jakarta pada 1998 tercatat dalam sejarah. Cara-cara yang dilakukan para anggota Marinir ini menuai pujian dari masyarakat.

Cara anggota Marinir TNI AL dengan persuasif. Tidak ada senjata, hanya dialog agar massa tidak anarkis.

Pada 22 Mei 2019 saat terjadi kericuhan di sebagian wilayah Jakarta, peran anggota Marinir TNI AL kembali diapresiasi. Berikut ini kisah-kisah para anggota Marinir TNI AL:

1. Tampil Simpatik dan Selalu Tersenyum

Aksi Marinir TNI AL saat Mei 98 di Jakarta mendapat simpatik dari masyarakat. Saat itu Marinir menyandang senjata dengan laras dibalik. Mereka mendekati barisan massa dengan senyum.

"Hidup rakyat!" teriak mereka.

Kerumunan massa berteriak. "Hidup Marinir, Hidup Marinir!"

Salah seorang warga, Wawan, mengingat saat itu Marinir menjadi idola masyarakat Jakarta. "Mereka persuasif, tidak arogan dan mau berdialog," kata Wawan.

Namun saat itu hanya Marinir saja yang menjadi idola, pasukan lain tidak. Tak jarang bentrok fisik terjadi di tengah pengamanan kerusuhan 1998. Namun Marinir berhasil membangun komunikasi dengan baik.

Saking percayanya pada Marinir, setiap mobil atau motor Marinir yang lewat tak akan dilempari batu dan dibakar oleh warga yang sweeping mobil-mobil dinas TNI.

Tapi jika yang lewat bukan Marinir, maka siap-siap mobil atau motor mereka terkena lemparan batu. Maka dari itu, banyak anggota TNI yang buru-buru mencari baret Marinir.

Kisah ini dituturkan seorang bintara pengemudi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Saat itu para perwira ramai-ramai cari baret Marinir. "Saya waktu itu nyopiri kolonel. Pas pulang dia minta carikan baret Marinir, teman-temannya juga seperti itu. Pakai baret Marinir aman di jalan," katanya menutup cerita.

2. Dialog Secara Persuasif dengan Massa

Hal ini terjadi saat aksi 22 Mei kemarin di Jakarta. Bubarnya massa tentu tidak secara langsung. Perlu dialog secara persuasif dilakukan aparat keamanan. Khususnya dilakukan personel TNI.

Cerita itu disampaikan Komandan Batalion Infanteri 7 Marinir, Letkol (Mar) Kanang Budi Raharjo. Dia bersama empat anggota lainnya sempat bertemu dengan tokoh agama setempat, melakukan berdialog.

"Saya tidak melihat ada suatu urgensi yang harus dibela massa. Maka saya ajak mereka berbicara," kata Kanang.

Kanang dan anggotanya berhadapan dengan ratusan massa. Ada kepercayaan diri ketika mendatangi mereka. Kanang beranggapan pihaknya bukanlah lawan, melainkan kawan.

Dari dialog tersebut, dia mengetahui bahwa warga sebenarnya tidak ingin ada bentrokan. Mereka hanya geram dengan cara aparat kepolisian membubarkan mereka. "Justru mereka ingin dialog dan cara-cara persuasif didahulukan," ucapnya.

"Ya sekitar 10 menit (berdialog), saya cuma berlima enggak bawa apa-apa, tangan kosong. Saya ketemu kalau dibilang ya koordinator ya. Lalu ditemani oleh tokoh masyarakat, akhirnya mereka mau membubarkan diri," ungkap Kanang menjelaskan.

3. Hadapi Warga Tanpa Kekerasan

Tak hanya kerusuhan Mei 98, saat terjadi kerusuhan di Tanjung Priok April 2010 lalu, masyarakat juga berharap agar Marinir turun untuk atasi masalah di sana. Mereka membantu, namun tidak menggunakan cara kekerasan.

Marinir menggunakan cara berdialog untuk mengatasi keributan. "Titik tolaknya jangan menggunakan kekerasan. Persuasif itu lebih baik," kata Brigjen TNI (Mar) Ikin Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Korps Marinir, April 2010.

Ikin menambahkan pendekatan juga dilakukan secara kekeluargaan, dan harus bisa membedakan antara keputusan hukum dan kondisi di lapangan. "Karena itu komandan satuan di bawah harus bisa menilai secara tepat." katanya.***