PANDEMI Covid-19 telah memapar 79 juta lebih orang di dunia per tanggal publikasi WHO 29 Desember 2020 dengan total kematian 1.761.381 jiwa. Sementara jumlah kasus di Indonesia yang dirilis pemerintah per 29 Desember mencapai 727 ribu jiwa konfirmasi positif dengan angka kematian pasien capai 21.701 jiwa.

Hantaman pandemi juga dirasakan warga Riau dengan total kasus 24.715 dan kematian resmi mencapai 576 jiwa. Riau sendiri beberapa kali menduduki posisi tertinggi kasus positif per provinsi di luar Pulau Jawa.

Wabah corona membuat banyak negara kelimpungan dan mengungkap betapa rapuhnya sistem ketahanan kesehatan negara yang tidak siap dengan pengalaman baru di era ini. Namun pengalaman bukanlah jadi pelajaran yang baik bagi pemerintah. Punya pengalaman atas satu bencana tidak lantas membuat pengurus negara serius menanganinya.

Riau, salah satu provinsi yang mengalami karhutla lebih dari dua dekade. Nilai kerugian materil yang mencapai ratusan triliunan rupiah dan bahkan kehilangan jiwa karena paparan kabut asap ini belum membuat Indonesia termasuk Pemerintah Provinsi Riau tergerak memperbaiki akar penyebabnya.

Tahun 2020 bisa disebut tahun paling berat bagi warga Riau. Gubernur Riau menetapkan dua keadaan darurat. Darurat penanganan karhutla dan darurat pandemi Covid-19. Dua bencana ini menguji daya tahan paru-paru warga Riau.

Untungnya, titik panas di lahan gambut tahun 2020 di Riau tidak banyak. Per tanggal 23 Desember ada 196 titik di lahan gambut dan 20 titik di tanah mineral. Situs SiPongi menyebut luas areal terbakar tahun ini pada pemantauan 23 September mencapai 15.442 hektare. Luasannya jauh dari dua tahun sebelumnya dimana luas areal terbakar mencapai lebih dari 90 ribu hektare pada 2019 dan lebih dari 37 ribu hektare pada 2018.

Lalu kenapa titik api tidak banyak tahun ini? Apakah pandemi membuat aktifitas masyarakat di atas lahan gambut dan hutan berkurang? Atau karena program restorasi gambut pemerintah berhasil menekan titik api? Tentu saja perlu riset komprehensif di lapangan untuk menjawabnya.

Tapi yang jelas, menurut tiga penulis dari National University of Singapore yang dipublikasi di The Conversation medio Desember lalu, Badan Restorasi Gambut yang diamanahkan pemerintah merestorasi 2,6 juta hektare gambut kering dan rusak di 7 provinsi pada 2020, hanya bisa tercapai sekitar 45 persennya.

Namun yang kita bahas di sini adalah bagaimana kemampuan warga Riau dalam menghadapi virus mematikan yang menyerang fungsi pernafasan. Paparan polutan beracun dari asap kebakaran tahunan juga disebut menurunkan kekebalan tubuh.

Penelitian Harvard University dan Columbia University (2019) mengungkap bahwa kematian dini akibat asap kebakaran hutan dan gambut bisa mencapai 36 ribu jiwa per tahun pada periode 2020 hingga 2030. Sebanyak 92 persennya adalah kematian yang terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia dan 1 persen di Singapura.

Laporan itu menyoroti polutan PM2.5 yang dihirup warga di daerah kebakaran hutan akan terkonsentrasi dalam paru-paru yang pada akhirnya meningkatkan risiko kematian dini. Partikel nano itu menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut.

Tingkat kunjungan pasien ISPA di Riau meningkat pada masa kebakaran hutan seperti di September 2019 dibandingkan kondisi sebelum karhutla.

Penelitian Departemen Biostatistik Harvard dalam makalah berjudul ''Exposure to air pollution and covid-19 mortality in the United States'' menyebut bahwa pasien Covid-19 yang tinggal di daerah berpolusi udara jauh lebih mudah mengalami kematian. Studi ini menyelidiki rata-rata paparan panjang PM2.5 akan meningkatkan 15% kemungkinan kematian akibat corona dibandingkan mereka yang tinggal di lingkungan berudara lebih bersih. Tentu saja penelitian ini masih menjadi perdebatan. Tapi secara umum mengakui adanya hubungan polusi udara dan infeksi virus yang akan saling menurunkan kekebalan tubuh.

Lalu bagaimana Pemerintah Provinsi Riau menyikapi bahaya dua malapetaka ini? Jawabannya kita bisa lihat apa yang tengah dikerjakan pemerintah atas dua ancaman ''kematian'' ini. Dan sayangnya, kita belum benar-benar belajar pada pengalaman sendiri dan kebijakannya baru sebatas ''putting off the fires'' alias memadamkan ''api'' saja yang sifatnya emergensi. Namun masih alpa mengatasi akar masalah yang berakibat pada kerentanan tubuh warga dalam menghadapi bencana pandemi di masa mendatang.

Riset-riset luar negeri yang dilakukan secara mendalam seperti ini harusnya menjadi pelajaran dan kritikan bagi universitas-universitas di Riau. Sehingga peran kampus akan menjadi semakin berguna bagi manusia di luar menara gadingnya dan memberi landasan kebijakan pada akar masalahnya. Seperti halnya warga, komunitas kampus juga korban asap yang kini diperparah oleh pandemi. ***

Romes Irawan Putra, SH MH adalah Direktur Kaliptra dan Koordinator Simpul Gambut Riau