JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) meminta, DPR mendatang (periode 2019-2024) untuk lebih bisa mengoptimalkan koordinasi antar AKD guna mengefektifkan kinerja legislasi.

Hal itu, disampaikan Direktur Eksekutif Formappi, Made Leo Wiratma saat memaparkan evaluasi atas kinerja DPR RI masa sidang V tahun sidang 2018-2019, yang digelar di kantor Formappi di bilangan Matraman, Jakarta Timur, Kamis (15/08/2019).

Hasil kajian Formappi terkait kinerja DPR RI berdasarkan Rencana Kerja (Ranker) di masa sidang V, tiba pada kesimpulan bahwa koordinasi antar alat kelengkapan dewan (AKD) masih lemah.

"DPR hanya menghasilkan 1 RUU Prioritas," kata Made.

Peneliti Formappi bidang Legislasi, Lucius Karus yang turut hadir di lokasi, menambahkan, "itu bahkan ketika Bamsoet (Ketua DPR, red) sudah berupaya untuk merampingkan target dengan konsistensi perencanaan per masa sidang yang terukur, agar diselesaikan 4 RUU tapi hanya 1 yang selesai, itupun di luar dari 4 RUU yang ditergetkan,".

Formappi mengaku prihatin atas capaian legislasi di masa sidang V tersebut, yang sebetulnya memiliki rentang waktu cukup lama yakni sepanjang 8 Mei - 25 Juli 2019. Berbeda dengan masa sidang V yang lebih pendek, tapi DPR bisa merampungkan 2 RUU prioritas.

"Dengan koordinasi yang tak padu, sulit mengharapkan capaian yang terarah dan maksimal," kata Made.

DPR periode saat ini (2014-2019) hanya tinggal menyisakan 1 kali lagi masa sidang. Data Formappi menyebutkan, tersisa 52 RUU prioritas di 2019 yang belum jelas ujungnya.

Sementara, jika melihat tren kinerja sejak awal periode, DPR hanya bisa menelurkan rata-rata 1 UU di setiap masa sidang. Sehingga, kata Made, "mustahil DPR mampu menggenjot misalnya 5 RUU di masa sidang terakhir," itu.

Padahal, dari RUU-RUU yang ada, beberapa sudah masuk tahapan pembahasan tingkat satu atau setidaknya tinggal memfinalisasi poin-poin krusial saja.

Made mencontohkan, RUU KUHP, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), RUU Pengkoperasian, RUU Sumber Daya Air (SDA) dan RUU Masa Jabatan Hakim.

"RUU-RUU ini (seharusnya, red) bisa digenjot maksimal di masa sidang pamungkas nanti," kata Made.

Harapan senada terkait capaian legislasi di masa sidang VI (mendatang) tersebut, juga disampaikan Lucius. Tapi, Lucius menegaskan penting adanya pengawasan ketat terhadap proses yang terbilang berpotensi bakal menjadi fenomena lame duck legislation itu. Mengingat, finalisasi terjadi di masa-masa akhir jabatan legislator Senayan.

"Misalnya RUU SDA, bisa saja lolos dengan pola transaksional jika luput dari perhatian publik," kata Lucius.

RUU lain, kata Lucius, juga punya potensi serupa karena "fokus publik sudah pada hal terkait masa jabatan DPR mendatang. RUU-RUU yang potensial ditunggangi kepentingan pebisnis (biasanya terkait sumber daya alam dan energi, red), sangat mungkin jadi transaksional,".

Hal-hal seperti itu, kata Lucius, sangat mungkin terjadi di penghujung periode ketika anggota DPR tidak punya kepentingan lagi dengan jabatannya (jika tak lanjut menjabat).***