JAKARTA -- Kondisi paradoks terjadi pada keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Di saat perusahaan BUMN ini mengalami kerugian sangat besar dan utangnya menggunung, anggaran untuk direksi dan karyawannya justru melambung tinggi.

Dikutip dari Kompas.com, PT Waskita Karya mengalami kerugian mencapai Rp7,38 triliun. Dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2020, angka Rp7,38 triliun itu merupakan rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk.

Selain rugi cukup besar, perusahaan negara di bidang konstruksi juga terlilit utang plus beban bunga yang sangat tinggi. Masih dalam laporan keuangan 2020, total utang perusahaan tembus Rp89,011 triliun.

Selain itu, salah satu beban cukup besar yang dalam laporan keuangan Waskita Karya adalah beban untuk membayar pos pengeluaran karyawan dan direksi, termasuk di dalamnya gaji karyawan. 

Dilihat dari laporan arus kas perusahaan per 31 Desember 2020, pengeluaran kas untuk karyawan dan direksi yakni mencapai Rp1,005 triliun sepanjang tahun lalu. 

Pengeluaran untuk karyawan dan direksi ini melonjak tinggi meski perusahaan tengah dalam kondisi sulit di masa pandemi atau meningkat dibandingkan setahun sebelumnya.

Sepanjang setahun sebelumnya atau pada tahun 2019, jumlah pengeluaran kas untuk karyawan dan direksi tercatat sebesar Rp786,179 miliar.

Sementara itu, pengeluaran kas untuk pemasok atau vendor perusahaan justru merosot yakni sebesar Rp 18,538 triliun di tahun 2020, sementara di tahun 2019 pengeluaran untuk pos yang sama sebesar Rp 39,812 triliun.

Penyebab rugi

Sebagai informasi, dalam laporan yang dirilis perusahaan, kerugian pada tahun 2020 lalu disebabkan adanya peningkatan beban pinjaman dari investasi jalan tol.

Penyebab lainnya antara lain penurunan produktivitas proyek, serta beban operasional yang cukup besar akibat pandemi Covid-19.

Selain itu, proses divestasi yang telah direncanakan oleh Waskita pun tertunda pelaksanaannya akibat pandemi Covid-19. Dari 5 ruas yang ditargetkan untuk dapat dilepas, hanya divestasi 1 ruasyang dapat terealisasi.

Di sisi lain, Waskita Karya membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 16,2 Triliun pada tahun 2020, atau terkoreksi 48 persen dibandingkan dengan Rp 31,4 Triliun pada 2019.

President Director Waskita, Destiawan Soewardjono mengatakan bahwa produktivitas Waskita pada tahun 2020, yang diukur dengan rasio order book burn rate to sales, hanya mencapai 24,6 persen.

Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2019 dimana rasio burn rate dapat mencapai 35 persen.

''Penurunan produktifitas secara langsung berdampak pada seluruh kinerja keuangan perusahaan,'' kata Destiawan.

Waskita Karya juga mencatatkan beban operasi sebesar Rp 19,87 triliun atau 123 persen dari capaian pendapatan usaha pada periode 2020.

Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan beban bahan baku dan beban overhead akibat pandemi, serta adanya beberapa klasifikasi ulang dalam pos laba rugi.

Selama pandemi Covid-19, Waskita Karya pun harus mengeluarkan biaya tambahan untuk implementasi protokol kesehatan di lingkungan kerja perusahaan.

Meski secara konsolidasi mencatatkan rugi bersih, namun segmen bisnis jasa konstruksi Waskita Karya masih profitable biarpun diterpa pandemi.

Segmen bisnis jasa konstruksi tercatat menyumbang 90 persen dari total pendapatan Waskita di 2020.

Segmen tersebut mencatatkan pendapatan sebesar Rp 14,5 triliun dengan keuntungan brutosebesar Rp 1,17 triliun atau rata-rata margin laba bruto sebesar 8 persen.

''Pada lini bisnis konstruksi yang menjadi core compentecy, Waskita masih sangat kuat,'' terangDestiawan.

''Ditambah dengan transformasi yang sedang kami lakukan, kedepan kami yakin kami akan jadi lebih efisien sehingga keunggulan kompetitif kami juga meningkat,'' sambung Destiawan.

Jual tol

Dia optimistis divestasi terhadap sejumlah ruas tolnya dapat terlaksana sehingga mampu mengurangi beban utang BUMN karya tersebut.

''Kami optimistis bahwa divestasi ruas tol tersebut dapat terlaksana, dan setelah satu ruas tol telah terealisasi ternyata investor banyak sekali yang ingin mengakuisisi ruas-ruas tol Waskita Karya,'' ujar Destiawan dilansir dari Antara.

Tahun ini Waskita Karya merencanakan ada 9 ruas tol yang disiapkan untuk divestasi. Satu ruas tol sudah deal dan sudah dieksekusi oleh Waskita Karya.

Kemudian satu ruas lainnya dalam proses, sedangkan tiga ruas tol dilakukan divestasi dengan pola share swap.

''Masih ada lima ruas tol dan ini kami targetkan bisa terlaksana, apalagi tahun 2021 ini sovereign wealth fund Indonesia (INA) telah berfungsi dan beberapa ruas sudah kami bahas untuk diakuisisi oleh INA,'' kata Destiawan.

Dia mengatakan upaya divestasi ini akan membantu mempercepat, dan kalau itu terjadi maka upaya tersebut bisa mengurangi beban utang Waskita Karya.

Dalam paparannya, ia juga memaparkan strategi divestasi tahun ini di mana Waskita Karya melakukan proses penawaran terbuka untuk menarik minat investor lama dan baru.

Kemudian memberikan izin investor baru mengambil sebagian dari pembangunan jalan tol dengan imbalan hak pengusahaan dengan pembatasan waktu.

Strategi berikutnya adalah kesepakatan pertukaran saham non tunai dengan pemegang saham Waskita Tol Road yang ada.

Terakhir menerbitkan instrumen ekuitas seperti reksa dana penyertaan terbatas ekuitas danareksa (RDPT) sebagai alternatif bagi investor.

Sebelumnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR melalui Direktorat Jenderal Bina Marga memaparkan sembilan ruas tol yang akan didivestasikan atau pelepasan saham kepada pihak swasta pada tahun ini.

Sembilan ruas tol yang akan didivestasikan BUMN PT Waskita Karya kepada pihak swasta yakni ruas tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat, Cibitung-Cilincing, Cinere-Serpong, ruas tol Bogor-Ciawi-Sukabumi.

Kemudian ruas tol Depok-Antasari, ruas tol Pemalang-Batang, ruas tol Batang- Semarang, dan tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar.

Porsi kepemilikan saham Waskita Karya di sembilan tol yang akan didivestasi tersebut berkisar mulai 25 persen sampai dengan 99,9 persen.***