KITA awali dengan mengutip sepotong ayat (Hud. 118): ''Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat/satu agama/satu pendapat saja, tetapi mereka karena kemampuan akal fikirannya berbeda, selalu mempunyai perbedaan pendapat pula.''

Kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat itu dan hanya akan berakhir dengan berakhirnya masyarakat itu pula yaitu kiamat kelak.

Umat Islam tidak terkecuali dari fenomena tersebut khususnya dalam pelaksanaan beribadah, malah sejak zaman Nabi Muhammad perbedaan pendapat dalam beribadah sudah ada.

Penyebab timbulnya perbedaan pendapat dalam beribadah adalah: Pertama, dari penafsiran redaksi ayat-ayat dan hadist Nabi. Ada perbedaan qiraat bacaan menimbulkan perbedaan makna, bahkan kesamaan redaksi ayat atau hadispun dapat menimbulkan perbedaa penafsiran.

Memang tidak seorang pun yang dapat memastikan maksud yang sebenarnya dari suatu redaksi kecuali pemiliknya sehingga pengertian yang dipahami oleh pembaca atau pendengar dapat saja bersifat relatif. Yang paling tahu isi sebuah buku atau tulisan adalah penulis atau pengarangnya.

Sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia saja, bisa dipahami dalam beberapa arti. Contoh kalimat ''Saya juga belum makan''. Bisa dipahami ''saya masih kenyang''. Bisa diartikan ''saya sedang lapar'' dan bisa pula dipahami ''Jangan habiskan makanan yang ada''. Itu baru bahasa Indonsia, apalagi bahasa Alquran.

Kedua, satu riwayat hadist boleh jadi diketahui atau diakui oleh seorang ulama, tapi tidak diketahui atau tidak diakui kesohihannya oleh ulama lain.

Berbeda pendapat itu tidak masalah, yang menjadi masalah adalah perbedaan itu menimbulkan perpecahan, membuyarkan persatuan malah menuju kepada permusuhan. Padahal Allah selalu mengingatkan; ''janganlah kalian berpecah pecah''.

Pebedaan pendapat itu juga menimbulkan kelompok yang saling tuding dan mengklaim paham kelompoknyalah yang benar orang lain salah. Mereka lupa bahwa yang menetapkan salah dan benar itu hanyalah Allah semata.

Oleh sebab itu, para ulama dan pemikir umat memperkenalkan 2 konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman atau pengamalan ajaran Islam sebagai berikut:

1. Konsep Tanawwu'al Ibadah. Konsep ini mengakui keragaman cara beribadah yang pernah dipraktikkan Nabi, selama semua merujuk kepada rasul. Dalam konsep ini Islam tidak bertanya, 5 + 5 berapa? Tapi yang ditanyakan adalah 10 sama dengan berapa + berapa?

2. Konsep Almukhti'u fi Al ijtihad lahu 'ajer. Dalam konsep ini, salahpun berijtihad, tetap mendapat ganjaran dari Allah. Hanya saja para mujtahidnya adalah orang-orang berilmu luas dan mendalam dan sungguh-sungguh berijtihad (tidak sembarangan).

Jika kedua konsep ini kita pahami, akhirnya kita akan sepakat untuk berbeda pendapat atau kita menyadari bahwa berbeda pendapat itu boleh-boleh saja, karena memang sunnatullah. Apa bila sudah sepakat untuk berbeda pendapat, insyaallah gontok-gontokan, saling tuding, saling menyalahkan, pendapatnyalah yang benar akan terhindar dan kita tahu semuanya itu adalah biangnya kehancuran umat.

Oleh sebab itu marilah kita sama sama bersikap rendah hati, jangan congkak apalagi sombong. Dalam hal ini Prof Dr Quraisy Syihab mengajak kita untuk menyikapi perbedaan pendapat melalui kalimat sebagai berikut: ''Pendapat kami benar, tapi boleh jadi keliru dan pendapat anda menurut kamu keliru, boleh jadi benar''.

Dengan demikian kita dapat hidup rukun, damai bersaudara, tidak gontok-gontokan. Kita tidak boleh lupa mengamalkan ayat; ''Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara''. Islam butuh kekompakan menghadapi musuh-musuhnya. InsyaAllah.***

Drs H Iqbal Ali, MM adalah Ketua Dewan Pembina IKMR Riau & Mubalig IKMI.