IMAM HANAFI atau Abu Hanifah pernah dicecar seorang ateis dengan sejumlah pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Dikutip dari Republika.co.id, begini dialog Imam Hanafi dengan orang ateis tersebut.

''Apakah kamu melihat Tuhanmu?" tanya ateis kepada Imam Hanafi.

''Maha Suci Allah, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti,' (QS: Al-An'am: 103),'' jawab Imam Hanafi.

''Apakah kamu menyentuhnya? Menciumnya? Atau merasakannya?''

''Maha Suci Allah, 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.' (QS: As-Syura:11),'' jawab Imam Hanafi.

''Jika kamu tidak melihat-Nya, menyentuh-Nya, mencium-Nya, dan merasakan-Nya, bagaimana caramu membuktikan keberadaan-Nya?'' tanya orang ateis itu lagi.

''Kamu ini benar-benar tak bisa berpikir! Apakah kamu melihat akalmu?'' Imam Hanafi balik bertanya.

''Tidak,'' jawab orang ateis itu.

''Apakah kamu menyentuh akalmu?''

''Tidak,'' jawab orang ateis itu, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

''Apakah kamu mencium akalmu?''

''Tidak,'' jawab ateis.

''Apakah kamu merasakan akalmu?''

''Tidak,'' kata ateis.

''Kamu berakal atau gila?''

''Berakal,'' jawab ateis.

''Jika kamu benar-benar berakal, di mana akalmu?''

''Tidak tahu. Tapi dia ada,'' jawab ateis.

''Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta'ala,'' kata Imam Hanafi.

Riwayat Imam Hanafi

Dilansir dari Republika.co.id, Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru.

Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.

Yazid bin Harun mengatakan, ''Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cerdas dari Imam Abu Hanifah.'' Kalimat yang hampir sama juga terlontar dari Imam Syafi'i, ''Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.''

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi'i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.

Beberapa muridnya yang lain adalah Ibrahim bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, dan Hafsh bin Abdurrahman al-Qadhi. Hamzah--teman penjual minyak wangi--juga pernah berguru kepadanya. Begitu juga dengan Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su'aib bin Ishaq, Abdullah ibnu Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, dan Abdullah bin Zubair al-Qurasy.***