JAKARTA - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyidin Junaidi mengatakan, banyak ulama hanya berani menyerukan amar ma'ruf, namun sedikit sekali yang berani melakukan nahi mungkar.

''Nahi mungkar itu adalah ajaran agama Islam dan juga agama lain di dunia. Tetapi secara empiris hanya sedikit orang yang berani melakukannya karena berisiko tinggi bagi pelakunya. Para ulama cenderung menghindarinya dan lebih mengutamakan amar ma'ruf yang bebas risiko,'' ujar Muhyidin, seperti dikutip dari Republika.co.id.

Menurut Muhyidin Junaidi, Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan salah satu dari sedikit ulama yang berani melakukan nahi mungkar tersebut.

HRS bersama Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpinnya, kata Muhyidin, hanya ingin menegakkan nahi mungkar, yang hanya sedikit orang berani melakukannya.

Karena itu, Muhyidin heran terhadap sikap pihak-pihak yang ingin membubarkan FPI, terutama setelah HRS kembali ke Tanah Air.

Dituturkan Muhyidin, MUI belum bisa memahami konstruksi pemikiran pihak-pihak yang ngotot menginginkan pembubaran FPI. Kiprah FPI dalam memberantas kemungkaran dan kemaksiatan sudah sangat dominan. ''Bahkan seakan itu core businessnya,'' kata dia.

FPI, lanjut Muhyidin, adalah sebuah ormas berskala nasional yang resmi dan terbukti berasaskan Pancasila. Banyak yang sudah dilakukan sejak berdirinya di negeri ini. Terutama di bidang agama dan sosial kemanusiaan.

Lebih lanjut, Muhyidin mengatakan, jika alasan hanya pemasangan spanduk HRS dan lain-lain sembarangan dan melawan aturan itu bukan wewenang TNI. Tugas militer adalah menjaga kedaulatan negara. Seharusnya TNI fokus pada ranah menjaga kedaulatan negara dari rongrongan asing dan Aseng.

Muhyidin menuturkan, menyampaikan dakwah memang harus disesuaikan dengan objek dakwah dan latar belakang psikologi umat. Namun menyampaikan yang haq itu adalah suatu kewajiban termasuk pesan menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran kepada para penguasa.

MUI, kata Muhyidin, berharap agar semua elemen bangsa menghormati hukum dan UUD 1945 yang berlaku di negara demokrasi ini.

''Perbedaan yang ada hendaknya dijadikan sebagai khazanah untuk meningkat kualitas kedewasaan kita bukan sebagai pemicu konflik horizontal,'' ucapnya. ***